Kamis, 04 Desember 2014

SRI UTAMI, TOKOH INSPIRATIF PEMILIK RS MOJOSONGO SOLO



Sri Utami, Manajer yang Jadi Buruh Cuci (1)
Senin, 21 Mei 2012
Sri Utami
Foto: Romy Palar/Nova
Inilah Sri Utami , satu dari 10 Perempuan Inspiratif NOVA 2011. Dalam tempo 10 tahun, ia mendirikan tiga buah Rumah Sakit (RS) bernama Mojosongo. Sebelumnya, ia seorang manajer perusahaan yang kemudian melakoni pekerjaan sebagai penjaja jamu keliling dan barang rosokan. Ia juga pernah mencicipi jadi buruh cuci pakaian dan memasak untuk para kuli bangunan. Sore hingga malam, ia menjelma menjadi instruktur senam aerobik dan penyanyi di cafe. Simak dasyatnya lika-liku perjalanan hidup ibu empat anak ini.
Sekarang ini, aku memang memiliki tiga RS untuk ibu dan anak bernama RS Mojosongo. Lokasinya di Solo, Palur, dan Delanggu. Semuanya masuk Karesidenan Surakarta. Tiga RS itu aku bangun untuk masyarakat miskin yang sakit. Yang aku bangun bukan hanya gedung dan peralatannya, melainkan juga sistemnya. Aku ingin orang miskin yang sakit bisa berobat dengan harga terjangkau oleh kantong mereka.
Lain dari tujuan mulia itu, RS Mojosongo ini awalnya aku persembahkan sebagai hadiah ulang tahun untuk suamiku yang jatuh pada tanggal 1 April.
Aku dilahirkan di Kediri, 13 Oktober 1948. Bapakku, selain seorang tokoh agama yang terkenal kala itu, adalah penilik sekolah. Sementara ibuku, Sihmini, berprofesi sebagai kepala sekolah Sekolah Rakyat.
Semasa remaja, pagi aku sekolah bidan, sore di SMA. Setelah lulus, aku bekerja sebagai bidan di PKU Solo, sembari meneruskan kuliah di jurusan Filsafat Kebudayaan IKIP Negeri Solo hingga meraih gelar sarjana muda. Lulus kuliah, aku sempat bekerja di sebuah perusahaan di Bandung. Jabatan terakhirku manajer personalia. Kerja baikku membuahkan hasil. Gajiku cukup untuk hidup, bahkan aku bisa membeli tiga buah mobil.
Lalu, suatu kali aku harus pulang ke Solo dan menikah dengan pemuda bernama Muzakir, yang kala itu berprofesi sebagai guru SD. Sebenarnya ada beberapa pemuda yang menaksirku dan mereka sering bertandang ke rumah orangtuaku. Tetapi Bapak bilang, sebaiknya aku menikah saja dengan Muzakir karena ibadahnya bagus.
Aku sempat mengajukan keberatan dengan calon pilihan Bapak. Muzakir berasal dari keluarga miskin, sementara kami saat itu tergolong terpandang dan berada. Tapi Bapak tetap pada pendiriannya. Beliau yakin, rumah tanggaku akan lebih baik bersama Muzakir. Aku pun akhirnya menuruti nasihat Bapak. Kelak, pilihan Bapak terbukti benar.
Nah, sejak menikah itulah kulepaskan jabatanku sebagai manajer perusahaan dan hidup di Solo bersama suami. Lalu, aku bekerja sebagai guru di SLTA swasta di Cokro. Hidupku pun berubah.
Sri Aerobik
Dulu, Sri pun mengajar senam aerobik dan fitness."Padahal, aku belajar hanya dari CD, lho,''ujarnya. (Foto: Dok Pri)
Menjadi Buruh Cuci
Di awal pernikahan, kami masih tinggal di rumah kontrakan. Kami kemudian membeli rumah dengan cara mengangsur di kawasan Perumnas Palur. Sekadar info, kala itu Perumnas Palur sedang gencar dilakukan pembangunan perumahan besar-besaran bagi pegawai negeri.
Nah, melihat banyak rumah dibangun, terpikir olehku untuk menawarkan jasa menjadi buruh cuci baju dan masak bagi para tukang bangunan itu. Ternyata mereka mau. Per hari, aku diberi uang makan Rp 150 per orang. Padahal ada beberapa rumah yang tengah dibangun. Minimal saat itu ada 20 tukang yang aku cucikan bajunya.
Agar hidup terus berlangsung, aku harus kerja keras. Tiap hari, aku sudah melakukan aktivitas sejak jam 24.00. Setelah beres-beres urusan rumah, aku salat tahajud dan berzikir . Sekitar jam 02.00 aku sudah ke pasar untuk belanja sayuran
Pekerjaan yang aku lakoni tak berhenti di situ. Jam 03.00 aku lanjutkan dengan berjualan jamu dari pabrik milik Pak Jaya Suprana di Semarang. Paling tidak selama sejam aku jualan jamu melayani pekerja kasar yang sudah meramaikan pasar di pagi hari.
Menjelang Subuh aku pulang. Bila terdengar azan, aku segera salat subuh di masjid yang kulewati. Tiba di rumah, aku jualan sayuran ke para tetangga. Tak sedikit dari mereka yang berutang dulu. Selesai jualan sayur, aku masak dan mencuci baju tukang bangunan. Selesai itu, aku mulai mempersiapkan anak-anak berangkat ke sekolah. Aku sendiri yang mengantar-jemput mereka ke sekolah dengan naik mobil. Kadang sambil mengantar anak ke sekolah, aku mampir ke rumah teman atau orang-orang untuk membeli kaleng-kaleng bekas.
Oh ya, kadang malam hari aku juga masih jualan jamu keliling, lho. Biasanya aku keliling kampung pakai mobilku sendiri. Untuk itu aku dimodali bensin 5 liter dari perusahaan jamu. Daganganya aku beli kontan, jadi untungnya bisa kukantungi sendiri. Lumayan, kok, hasilnya. Rutinitas sebagai buruh cuci, tukang masak, jualan klithikan , dan jualan jamu keliing aku lakukan sekitar 5 tahun lamanya. Mulai dari belum punya anak, sampai anakku 4 orang.
Kel Sri Utami
Bersama suami dan keempat putra-putrinya. Sri kini merasa hidupnya sudah semakin lengkap. (Foto: Dok Pri)
Sekolahkan Suami
Ada kisah unik kala aku harus melahirkan anak pertama dan keduaku. Asal tahu saja, keduanya aku lahirkan di rumah. Persalinannya kulakukan sendiri dengan dibantu suami. Aku yang memotong tali pusarnya, setelah pisau pemotong ari-ari disterilkan suamiku. Alhamdulillah, kami bisa kerjasama dengan baik dan akhirnya persalinan bisa selamat. Persalinan anak ketiga dan empat, juga kulakukan bersama suami. Bedanya kala itu suamiku sudah menjadi dokter.
Ya, dari guru SD, suamiku kemudian memang menjadi dokter spesialis anestesi. Aneh? Ah, tidak. Semua ada proses dan kisah panjangnya. Aku mulai ceritanya dari masa pengantin baru saja, ya. Jadi, selain mengajar di SD dan berstatus PNS, suamiku juga nyambi jualan minyak tanah keliling dengan cara dipikul. Aku yang kemudian meminta suamiku meneruskan studinya hingga bisa meningkat menjadi guru SMP.
Singkat cerita, suamiku bisa meraih gelar sarjana muda. Statusnya pun meningkat jadi guru SMP. Ia lalu kuliah S1 dan bisa menjadi guru SMA, bahkan dosen. Aku senang dan ikhlas selama membiayai dia kuliah. Aku berlagak banyak uang saja saat itu. Padahal aku kerja keras apa saja asal menghasilkan uang. Suamiku malah tidak tahu dari mana saja aku mendapatkan uang untuk membiayai sekolahnya.
Suatu kali suami cerita kepadaku, dirinya pernah diterima sebagai mahasiswa kedokteran di AMN Angkatan Laut. Tapi baru 9 bulan terus dipulangkan. Nah, dari cerita itulah akhirnya aku tergerak menyekolahkan suami ke Fakultas Kedokteran di PTPN Solo.
Jujur, saat itu kuliah di fakultas kedokteran swasta mahalnya luar biasa. Kamipun harus hidup serba prihatin. Dulu, yang bisa tinggal di Perumnas, kan, PNS yang sudah berpangkat. Ada aneka profesi yang tinggal di sana. Nah, ketika kumpul-kumpul bersama ibu PKK, ada saja yang tak mau duduk bersebelahan denganku yang hanya buruh cuci dan jualan sayuran. Tapi aku tak berkecil hati.
Aku pun menarik diri dan lebih suka berasyik ria dengan duniaku sendiri. Berjualan, mengurus anak dan suami, serta beramal. Aku suka sekali menabung dan setelah terkumpul kubelikan obat-obatan. Setelah terkumpul, aku dan suami mengadakan pengobatan massal gratis di satu tempat. Biasanya aku dibantu teman-teman atau murid senamku. Oh ya, aku lupa menceritakan, bila pagi menjadi buruh cuci, sore harinya aku masih sempat mengajar senam aerobik dan fitness buat ibu-ibu.
Akhirnya, suamiku pun jadi dokter. Kabar itu kemudian tersiar ketika tukang foto yang kumintai tolong memotret suami saat disumpah sebagai dokter mengedarkan foto acara itu ke tetangga. Semua orang kaget. Mereka tak mengira, si penjual sayuran ternyata suaminya kini seorang dokter. Ha ha ha.
Reaksi berbeda datang dari penghuni Perumnas yang kaya-kaya. Ibu-Ibu yang semula tak mau duduk bersanding denganku di acara kumpulan PKK, tanpa alasan jelas tiba-tiba ada yang datang ke rumah di siang hari. Perangai mereka pun berubah baik kepadaku. Air muka mereka tak lagi menghadapi perempuan si penjual sayuran, melainkan istri dokter!
Rini Sulistyati / bersambung

 Sri Utami Ingin Bertemu Dahlan Iskan (2)
Senin, 21 Mei 2012
sri utami
Foto: Romy Palar/Nova
Menjadi istri dokter Puskesmas di sebuah desa terpencil di Blitar (Jatim) membuat Sri Utami stres. Hatinya hancur setiap melihat warga miskin di sekitarnya tak bisa berobat karena terbentur masalah biaya. Berniat menolong mereka, Sri membuat Rumah Sakit (RS) dengan harga terjangkau. Tak hanya satu, ia mendirikan tiga RS Mojosongo.
Usai suami diwisuda menjadi dokter, aku dan empat anak kami diboyong suami ke Desa Bakung, Blitar (Jatim). Suamiku ditugaskan sebagai dokter Puskesmas dan diberi rumah dinas di tengah hutan. Maka, segala macam profesi yang aku lakoni kuhentikan. Aku pun berubah menjadi ibu rumah tangga 100 persen.
Rumah dinas suamiku dikelilingi pohon besar. Bila angin bertiup kencang, aku ketakutan. Kadang rumah kami juga kemasukan ular. Di rumah yang terpencil ini aku seakan terisolasi. Jangankan menyalurkan hobiku menulis artikel di berbagai koran dan majalah, membaca surat kabar saja aku tak bisa. Dengan kata lain, aku mendadak stres!
Setiap hari, aku juga ‘dipaksa’ menyaksikan pasien yang rata-rata tidak mampu. Macam-macam kasus yang aku temui. Misalnya, ada perempuan hamil tapi tak tahu siapa bapaknya, ada juga ibu yang membunuh bayinya sendiri. Melihat kenyataan seperti itu, aku semakin stres.
Memang, sebagai istri pejabat di tingkat kecamatan aku pun sering mendapat undangan kumpul bersama, makan-makan di kecamatan. Tapi kegiatan itu sangat tidak aku sukai. Bagaimana mungkin aku menikmati acara makan-makan sementara warga sekitarnya ketika itu belumlah sejahtera.
Ranjau Kehidupan
Untuk menghilangkan stres, akhirnya aku memilih ikut ke lapangan saat suamiku mengadakan pengobatan massal dari desa ke desa. Biasanya aku jadi seksi sibuk, membantu menyiapkan obat-obatan atau melakukan apa saja.
Karena keseringan melakukan aksi seperti itu, suamiku mendapat julukan Dokter Umplungan . Pernah Pak Dahlan Iskan, yang sekarang menjadi Menteri BUMN, menulis tentang aksi suamiku saat beliau masih jadi wartawan. Akibatnya, suamiku semakin terkenal. Beberapa koran lokal dan nasional ikut menuliskan kisahnya. Imbasnya, suamiku terpilih menjadi dokter teladan. Awalnya hanya tingkat kabupaten, lalu tingkat Provinsi Jawa Timur, dan terakhir tingkat Nasional di tahun 1985.
Bila ingat itu semua, kini rasanya aku ingin sekali bertemu Pak Dahlan Iskan. Pasalnya, aku turut menikmati senangnya saat suamiku dinobatkan jadi dokter teladan. Selama sebulan aku diajak suami ke Jakarta menginap di Hotel Wisata. Banyak acara bergengsi yang kami datangi di zaman Orde Baru itu.
Meski begitu, selama delapan bulan menjadi dokter Puskesmas, suami tak kunjung mendapatkan gaji. Alhamdulillah, kami bisa bertahan dengan uang hasil penjualan mobil dan barang berhargaku di Solo. Ditambah lagi, dari Solo aku membawa aneka benih tanaman pemberian para bakul dan tukang becak di pasar. Benih-benih sayuran itu aku tanam di halaman rumah dinas yang luas. Hasilnya bisa kupetik untuk disayur setiap hari.
Selama menjadi istri dokter Puskesmas, aku juga kenyang makan singkong pemberian para pasien. Mereka tak membayar jasa suamiku dengan uang, melainkan dengan singkong! Akibatnya, di dapurku bertumpuk singkong. Kadang singkong itu aku goreng, lalu aku masukkan ke kaleng-kaleng, lantas kubagikan lagi ke pasien atau tamu yang datang ke rumah. Sisanya kami makan sendiri. Ha ha ha.
Setelah suami menjadi dokter teladan, kami kembali ke Solo. Dari sinilah terbetik keinginanku agar suami kembali kuliah, mengambil spesialis. Ketika kuutarakan niatku menyekolahkan suami sebagai dokter spesialis, eh, dia marah. Dia bilang, kami sudah melalui serangkaian “ranjau” kehidupan, jadi kini giliran uangnya yang membiayai anak-anak.
Selagi dia marah, aku diam saja. Setelah puas marahnya, aku jelaskan bahwa aku akan bekerja lagi untuk membiayai kuliahnya. Akhirnya suamiku luluh. Dia mau kuliah lagi mengambil spesialis anestesi di FK UNDIP Semarang.
Kami pun berpisah jarak lagi karena dia harus kos di Semarang. Tapi dengan kondisi itu aku bisa leluasa bekerja lagi. Kali ini pekerjaanku lebih “elit”. Aku berkecimpung di dunia entertainment . Aku sewa ruangan di hotel sebagai arena menyanyi. Aku jualan tiket bagi orang-orang yang ingin bersenang-senang, menyanyi dan kumpul teman. Aku juga kembali mengajar senam, mengajari memotong rambut, mengajari memasak, menyanyi tiap malam di kafe. Kadang juga menjadi MC.
Semenjak tinggal di kota, aku juga bisa menulis artikel lagi untuk berbagai majalah. Juga memotret untuk murid senam yang kepengin difoto. Pernah, lho, karya fotoku meraih juara di perlombaan yang diadakan salah satu produsen mobil.
RS Mojosongo 2
Inilah salah satu RS Mojosongo milik Sri Utami. " Awalnya ini adalah hadiah ulang tahun buat suami,''ujarnya. (Foto: Repro, Rini/NOVA)
Berkelana ke Kupang
Karena pekerjaanku banyak, uangku juga praktis jadi banyak. Masing-masing hasil kerja kupilah-pilah. Kerja dari kegiatan A untuk biaya kuliah suami, kerja B untuk biaya sekolah anak, dan kerja C untuk amal. Suami tak tahu apa saja jenis pekerjaanku. Tahunya tiap kali butuh bayar kuliah, aku ada uang. Suami dan anak-anak juga baru tahu jenis pekerjaan yang pernah kulakoni setelah aku menuliskan kisahku untuk mengikuti ajang Perempuan Inspiratif NOVA 2011! Ha ha ha.
Membiayai suami dan anak-anak sekolah tidak membuatku mengeluh seperti ibu-ibu para murid senamku. Memang aneh. Mereka punya suami mapan, ada penghasilan, tapi masih mengeluh soal suami dan anaknya. Keluhan-keluhan itu biasanya ditumpahkan kepadaku. Semua kutampung dan semakin mendewasakan aku. Maklum, orang berduit ikut senam, kan, buat pelepasan dari perseoalan yang muncul di keseharian juga.
Nah, kembali ke soal kuliah suamiku, ya. Ketika suami lulus sebagai dokter anestesi, anak-anak masih SMA. Yang kecil bahkan masih SD. Suatu kali suami memberitahu bakal ditugaskan ke Kupang. Wah, betapa kecewanya aku. Sudah habis-habisan tak pernah kumpul dengan suami, eh, setelah lulus dia mau ke Kupang. Sewotlah aku! Saat melepas kepergiannya di bandara, tak sekalipun aku tersenyum kepadanya.
Suatu kali aku terima berita dari Kupang yang mengabarkan suamiku mengalami tremor. Aku diminta segera datang ke Kupang bersama Zain, anak bungsuku. Berbekal uang seadanya aku berangkat ke Kupang tanpa mengabari suami sebelumnya. Eh, ternyata suamiku di sana sehat-sehat saja.
Setibanya di Kupang suami melarangku pulang ke Solo. Jadilah aku tinggal di sana hingga sembilan bulan lamanya. Tiga anakku di Solo hidup dari uang hasil dagangan berbagai macam barang yang kukreditkan. Untungnya anak sulungku perempuan dan saat itu sudah pintar mengurus dagangan ibunya.
Di Kupang, direktur RS tempat suamiku bpraktik membuatkan ruangan senam bagi para perempuan se-provinsi Kupang. Aku diminta jadi instrukturnya. Aku pun diberi mobil dinas pribadi plus uang bensin untuk mobilitasku selama di sana. Yang paling menggelikan, suatu kali aku belanja ke pasar. Eh, aku dikerubuti orang sepasar. Mereka berteriak-teriak, “Dewi Sartika! Dewi Sartika!” Aku bingung tak tahu apa maksudnya. Karena takut, aku pun ngacir pulang. Belakangan baru aku tahu, orang di pasar mengira aku Dewi Yull, pemeran Dokter Sartika. Sinetronnya di TVRI kala itu memang sedang ngetop.
Asal tahu saja, ketika itu penampilanku memang belum pakai kerudung. Aku masih suka pakai gaun backless , dengan kulit mulus dan harum karena rajin luluran. Kemana-mana pun aku selalu pakai sepatu hak tinggi. Trendi lah pokoknya. Ha ha ha.
Sri Utami bersama keluarga
Sri bersama suami dan putra bungsunya, keduanya kini berprofesi sebagai dokter. (Foto: Repro, Rini/NOVA)
Rumah Sakit Kandang Ayam
Dari Kupang, suamiku pindah tugas lagi menjadi staf ahli di RS Karyadi, Semarang. Aku turut kembali dan tinggal di Solo. Ketika ibundanya Ibu Tien sakit, suamiku dipindahkan ke RS DKT Solo untuk ikut merawat. Mulailah kami hidup “normal” dan tinggal serumah lagi.
Di Solo, ruang gerakku pun semakin leluasa. Mulailah aku keluar-masuk kelurahan melihat statistik penduduk Solo. Ketika itu sudah terpikir olehku untuk membuat sebuah RS sebagai kado ulang tahun suamiku. Kupikir, seorang dokter yang diberi hadiah RS, pasti akan senang. Bila dia senang, aku sebagai istri pun turut senang.
Uang yang aku pakai membangun RS ini murni hasil kerjaku. Asal tahu saja, sampai sekarang aku masihberbisnis, lho. Bedanya, sekarang bisnisku merambah dari sepatu, perawatan badan (luluran), hingga permata. Aku tidak langsung menanganinya, melainkan dikerjakan orang lain.
Awalnya, ada yang menghina RS yang aku dirikan sebagai RS kandang ayam. Tapi menurutku ini RS yang hebat. Memang, aku memulainya dari satu pegawai. Aku bertindak sebagai pembantu umum. Aku membantu memasak, menggantikan posisi sopir, sampai menyapu lantai. Akibatnya, pernah ada pegawai baru mengusirku agar tak duduk di ruang depan karena dia hendak bersih-bersih. Aku tidak marah karena dia tidak tahu bahwa akulah pemilik RS itu. Ha ha ha.
Meski memiliki rumah pribadi di Jl Mangkunsarkoro, aku justru lebih sering tinggal di RS Mojosongo 1 karena di sana aku ada teman. Maklum, suami dan anak-anakku sudah sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Zain, anak bungsuku, kini sudah menjadi dokter dan sekarang mengelola RS Mojosongo Palur. Anak sulungku sudah menikah dan tinggal di Jakarta.
Di RS Mojosongo, selain menerapkan pengobatan dengan biaya murah, kami juga telah membuat beberapa kegiatan. Misalnya, mengadakan pelatihan dan seminar penanganan pasca bedah. Pernah, kami menargetkan peserta seminar sebanyak 100 orang. Ternyata paramedis yang datang dari berbagai RS di Solo dan Yogyakarta membludak hingga 150 orang. Aku sampai kehabisan sertifikat.
Terakhir, seusai terpilih menjadi finalis Perempuan Inspiratif NOVA 2011, aku diwawancarai TV swasta. Sejak itu, kiprahku makin berkembang. Banyak rombongan dari berbagai institusi ingin bertemu denganku. Misalnya, pemilik sebuah RS dan dokter dari Lampung, ibu-ibu PKK, hingga rombongan dosen universitas. Aku juga kerap diminta jadi pembicara di kampus-kampus. Terang saja aku senang. Aku bisa tambah teman dan makin pintar karena bisa saling bertukar ilmu.
Begitulah sekilas kehidupanku. Semoga bisa menambah semangat dan membuahkan hikmah bagi yang membacanya. Amin.
(TAMAT)
Rini Sulistyati