Studi S3 itu identik dengan riset. Tidak ada program S3
tanpa riset. Sayangnya riset adalah sesuatu yang kadang tidak dimengerti
dengan baik oleh calon mahasiswa S3, sehingga kinerja mereka tidak
maksimal. Sebelum menempuh pendidikan S3, sebaiknya calon mahasiswa
memahami dulu tentang dunia yang akan mereka hadapi, agar bisa
menyiapkan diri dengan baik.
Menjadi Mahasiswa S3
Masa studi pada jenjang S3 tidak terlalu berbeda dengan masa studi
jenjang S1, tapi mahasiswa S3 menghadapi tantangan yang amat berbeda
dibandingkan dengan mahasiswa S1. Mahasiswa S1 yang diterima di sebuah
program studi tertentu biasanya memiliki cukup informasi untuk memahami
tentang arah dan substansi yang akan dipelajarinya. Ada pemahaman umum
tentang bidang studi yang bersangkutan, ada buku panduan akademik yang
berisi informasi-informasi resmi tentang program studi tersebut, serta
sumber-sumber informal lain seperti dosen atau teman kuliah. Sebaliknya,
begitu diterima pada program S3, seorang mahasiswa dihadapkan pada
ketidakjelasan tentang apa yang harus ia lakukan. Ia harus menjawab
banyak pertanyaan tentang riset yang akan dijalaninya: domain dan
lingkupnya, persoalan yang harus diselesaikan, metodologinya, dan
sebagainya. Tidak ada jawaban yang pasti untuk semua pertanyaan itu, dan
tidak ada orang lain yang bisa membantu mencarikan jawaban. Mahasiswa
harus mencari jawabannya sendiri sepanjang studinya, dan inilah yang
membuat tantangan pada program S3 jauh lebih berat dibandingkan dengan
pada program S1.
Mahasiswa S3 juga dituntut memiliki tanggung jawab lebih besar. Studi
yang dilakukannya tidak hanya untuk kepentingan dirinya sendiri seperti
halnya mahasiswa S1, tapi harus berimplikasi terhadap perkembangan ilmu
pengetahuan di bidang yang ditekuninya. Untuk itu ada beberapa syarat
yang harus dipenuhi oleh seorang mahasiswa S3.
Pertama, seorang calon doktor harus punya kecintaan dan
passion
terhadap bidang ilmu dan topik riset yang ditekuninya. Selama 3 tahun
(sering kali lebih) masa studinya, mahasiswa akan bergelut dan berjuang
keras dengan topik risetnya. Perjuangan dalam masa yang cukup panjang
ini tidak akan bisa dimenangkan jika tidak ada dorongan internal dari
dalam diri mahasiswa. Tanpa motivasi internal, seseorang tidak akan
tahan berkutat dengan ketidakjelasan, kebuntuan, rasa frustrasi,
kelelahan, dan berbagai perasaan negatif lainnya yang sering muncul
dalam kurun waktu studinya.
Kecintaan dan
passion adalah buah dari sebuah relasi yang
berlangsung cukup lama dan intensif. Keduanya muncul sebagai akibat dari
rasa ketertarikan seseorang terhadap sesuatu dan terpenuhinya
harapan-harapan yang timbul selama interaksi berlangsung. Masalah rasa
seperti ini tidak bisa dipaksakan untuk muncul. Artinya, ketertarikan
seseorang terhadap bidang tertentu sejak sebelum menjadi mahasiswa S3
akan memberinya
passion yang lebih besar dibandingkan jika orang tersebut baru menyentuh bidang risetnya saat ia memulai studi S3nya.
Yang kedua, seorang mahasiswa S3 haruslah menjadi manajer yang baik,
khususnya untuk dirinya sendiri. Studi S3 memerlukan fokus perhatian,
usaha keras, dan alokasi waktu yang cukup. Terkadang waktu, perhatian,
dan pikiran yang diperlukan melebihi alokasi yang direncanakan, sehingga
mengambil jatah kepentingan lain seperti keluarga, lingkungan sosial,
urusan kantor, atau bahkan kepentingan pribadi. Sering terjadi seorang
mahasiswa S3 harus menghabiskan waktunya di laboratorium dari pagi
sampai larut malam. Jika ini menjadi rutinitas, bagaimana dengan
sisi-sisi kehidupannya yang lain? Bagaimana dengan keluarga? Bagaimana
dengan kepentingan pribadi yang semestinya juga mendapatkan perhatian
(misalnya: berolah raga, bersosialisasi, dan beristirahat). Jika tidak
dikelola dengan baik, ketidakseimbangan dalam alokasi waktu, perhatian,
dan pikiran bisa memunculkan efek negatif dalam kehidupan sehari-hari,
yang pada akhirnya beresiko mengganggu studi S3 itu sendiri.
Mahasiswa S3 dituntut untuk bisa mengelola kehidupannya dengan baik,
dalam kondisi menghadapi tekanan dan tuntutan yang tinggi. Sering kali
persoalannya tidak sesederhana mengelola kehidupan diri pribadinya,
tetapi juga merembet ke lingkup yang lebih lebar, misalnya keluarga atau
kantor. Sebagai contoh: banyak mahasiswa S3 di luar negeri yang
mengajak keluarganya untuk ikut, dan karena ketidakmampuan keluarga
beradaptasi dengan lingkungan baru, keluarga menjadi ikut tertekan, dan
ini akhirnya berpengaruh pada studi mahasiswa tersebut. Studi di dalam
negeripun tidak lepas dari berbagai permasalahan, meski bentuknya
berbeda. Seorang dosen yang bersekolah S3 di perguruan tingginya
sendiri, mau tidak mau tetap tidak bisa lepas dari penugasan-penugasan
dari kampusnya.
Yang tidak kalah pentingnya adalah mengelola riset S3nya itu sendiri.
Riset dapat diibaratkan proyek. Ada sasaran yang harus dicapai dengan
cara-cara tertentu, dan ada kekangan-kekangan yang harus diperhitungkan
(waktu, biaya, ketersediaan fasilitas riset, keinginan pembimbing, dan
sebagainya). Persoalan mendasarnya adalah bagaimana proyek riset ini
dapat diselesaikan dengan baik dalam berbagai kekangan yang ada.
Mahasiswa S3 perlu melakukan hal-hal yang pada umumnya dijalankan dalam
pelaksanaan proyek: perencanaan, eksekusi, pemantauan, persiapan
terhadap resiko, dan penjaminan kualitas hasil. Semua ini dijalankan
secara terpadu dan menyatu dengan kegiatan riset.
Syarat lain yang tidak kalah pentingnya adalah kekuatan mental. Riset
adalah kegiatan yang mengandung ketidakpastian tinggi. Ketidakpastian
dalam riset bisa muncul dalam berbagai manifestasi, dari mulai hasil
riset yang “aneh” sampai ketidakjelasan keinginan dan sikap pembimbing.
Sayangnya manusia adalah mahluk yang rentan terhadap ketidakpastian,
terutama secara mental dan emosional. Frekuensi munculnya ketidakpastian
yang tinggi dan dalam jangka waktu lama berpotensi meruntuhkan mental
dan emosi mahasiswa. Reaksi mahasiswa biasanya diawali dengan
kebingungan, kekhawatiran, atau kemarahan, dan jika ini berlanjut tanpa
ada penyelesaian, muncullah rasa frustrasi, putus asa, atau apatis.
Kondisi ini bisa bermuara pada gejala-gejala fisik dan psikis yang lebih
serius. Untuk mencegah hal itu, seorang mahasiswa S3 harus menyiapkan
mentalnya dengan baik. Mental harus kuat agar bisa mewujudkan
persistensi dan ketahanan dalam menghadapi ketidakpastian.
Selain itu mahasiswa perlu melatih diri dengan ketrampilan mengelola
emosi dalam menghadapi problem. Ketrampilan emosional ini penting
sekali, tapi sayangnya tidak banyak orang yang sadar tentang pentingnya
hal ini dalam studi S3. Kesadaran dan penguasaan diri terhadap emosi
sangat diperlukan agar respons terhadap kejadian-kejadian yang tidak
diharapkan bisa terukur, positif, dan tidak merusak kemajuan yang telah
diperoleh sebelumnya.
Riset S3 memang menuntut syarat-syarat yang cukup berat, tetapi di
sisi lain ia juga menawarkan pengalaman yang mengasyikkan sekaligus
bermanfaat dalam jangka panjang. Sesungguhnya inilah “mutiara” yang
seharusnya dikejar oleh para mahasiswa S3.
Standar dan Ciri Riset S3
Riset S3 adalah riset yang berada di ujung kemajuan ilmu pengetahuan. Bobot
state-of-the-artnya tinggi, karena tuntutannya adalah munculnya kebaruan
(novelty)
yang memiliki orisinalitas tinggi. Dengan tuntutan seperti ini, maka
secara alamiah dapat dikatakan bahwa sang peneliti adalah orang yang
paling tahu dan mengerti tentang topik yang ditelitinya. Dialah orang
yang terdepan dalam arah pengembangan ilmu pengetahuan di topik spesifik
tersebut. Orang lain, termasuk pembimbingnyapun tidak memiliki
pemahaman dan pengetahuan sebaik dia. Matthew Might menggambarkan riset
doktoral secara illustratif seperti ditunjukkan pada link ini:
http://matt.might.net/articles/phd-school-in-pictures/
Banyak calon mahasiswa merasa bingung dengan ciri kebaruan dan
orisinalitas. Pada tataran apakah kebaruan itu harus dimunculkan?
Seberapa tinggi tingkat orisinalitas yang diharapkan? Di satu sisi,
sering terjadi kebaruan dan orisinalitas diterjemahkan sebagai “belum
pernah dipikirkan oleh orang lain”. Calon mahasiswa berpikir keras
mencari ide atau konsep yang sama sekali di luar pakem, lepas dari
konteks ilmiah akademis yang ada. Target yang ambisius seperti ini
biasanya tidak akan tercapai, apalagi jika tidak didukung oleh kemampuan
dan sumberdaya yang memadai.
Yang banyak terjadi justru di ekstrim lainnya, kebaruan diterjemahkan
secara superfisial saja, tidak menyentuh ke esensi fundamental dari
permasalahan yang dihadapi. Hal ini sering muncul karena calon mahasiswa
mencoba mengekstrapolasikan pengalaman belajar mereka semasa menempuh
S2 secara linear. Dalam kasus ini, kebaruan dicoba direalisasikan dengan
cara memperluas cakupan riset S2 mereka. Karena belum memahami tuntutan
riset S3, kebanyakan proposal ekspansi ini bersifat horizontal (meluas)
saja, kurang menyentuh aspek-aspek yang lebih fundamental.
Di luar negeri, salah satu sebutan gelar doktor adalah
doctor of philosophy (Ph.D). Sebutan ini menyiratkan tuntutan pencarian
(quest)
sampai pada tataran filsafat. Seiring dengan perkembangan ilmu
pengetahuan, gelar PhD tidak hanya terbatas untuk bidang filsafat saja,
tapi juga digunakan pada bidang-bidang ilmu lainnya. Meskipun demikian,
esensi maknanya tetap sama. Eksplorasi dan penggalian tetaplah dituntut
untuk sampai menggali aspek-aspek fundamental dalam lingkup bidang ilmu
tersebut. Keluaran riset S3 adalah pemahaman-pemahaman baru yang dapat
memperkaya khasanah ilmu pengetahuan di bidang itu. Yang diperkaya
adalah khasanah ilmu pengetahuan, bukan pengalaman pemanfaatan
(aplikasi) ilmu tersebut. Artinya, riset S3 tidak cukup sampai tataran
aplikasi saja, meskipun di lingkup itupun muncul hal-hal baru yang juga
menarik dan bermanfaat.
Sebagai contoh ilustrasi, di bidang keilmuan saya misalnya, riset tentang pengembangan aplikasi berbasis lokasi
(location-based)
untuk dipakai di kampus belumlah cukup untuk diangkat sebagai riset S3.
Topik ini memang sarat dengan teknologi-teknologi kontemporer, misalnya
algoritma penentuan lokasi berbasis koneksi ke wireless LAN, AJAX, atau
bahkan
augmented reality untuk visualisasi. Meskipun demikian, riset ini tetaplah bermain di permukaan saja (penggunaan teknologi baru untuk menjawab
requirements tertentu). Lain halnya jika risetnya adalah tentang pengembangan ekosistem yang sadar terhadap konteks
(context-aware)
untuk mendukung proses pembelajaran. Selain penggunaan teknologi baru,
ada persoalan-persoalan lain yang lebih fundamental, misalnya bagaimana
merepresentasikan sebuah entitas di dunia maya, bagaimana melekatkan
fitur kesadaran konteks
(context-awareness) ke sebuah entitas,
atau bagaimana proses pembelajaran bisa menarik manfaat dari kesadaran
konteks. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut diperlukan
eksplorasi yang lebih dari sekedar membuat program aplikasi. Jawaban
yang muncul dari proses riset, apapun hasilnya, adalah kontribusi yang
signifikan terhadap pengetahuan tentang
context-awareness.
Pengetahuan ini kemudian dapat dikembangkan lebih jauh untuk membangun
konstruksi pengetahuan baru, atau menjadi dasar bagi pengembangan
solusi-solusi praktis yang bermanfaat langsung bagi pemakainya.
Secara singkat, yang membedakan riset S3 dengan riset S2 atau S1
adalah tingkat signifikansi kontribusinya terhadap pengembangan ilmu
pengetahuan di sebuah bidang. Karya Claude Shannon tentang bagaimana
rangkaian
relay elektris dapat digunakan untuk
mengimplementasikan konstruksi logika Boolean adalah contoh karya yang
berbobot S3 (meskipun Shannon mengerjakannya untuk tesis masternya!).
Semua perangkat digital saat ini dikembangkan dari temuan riset ini.
Sebaliknya, pembuatan aplikasi pengolah kata
(word processor)
selengkap apapun fiturnya, kecil kemungkinannya bisa diangkat sebagai
topik riset S3 karena tidak ada kebaruan secara fundamental yang dapat
digali dari sana.
Persyaratan yang berat dan bersifat fundamental terhadap riset S3
memang tidak mudah dimengerti, apalagi oleh calon mahasiswa. Inilah
sebabnya mengapa calon mahasiswa perlu didampingi oleh pembimbing
(promotor/supervisor). Pembimbing inilah yang dapat menentukan seberapa
jauh/dalam riset yang dilakukan, untuk itu komunikasi dengan pembimbing
adalah sesuatu yang sangat penting dalam studi S3.
Tuntutan yang sangat tinggi juga memerlukan kemandirian yang tinggi
dari mahasiswa. Memang ada promotor atau supervisor, tetapi perannya
lebih pada mengarahkan, bukan menuntun. Mahasiswa S3 harus mampu
berjalan sendiri.
Kemandirian dalam riset dimulai dari persiapan melamar, sampai
dinyatakan lulus dalam mempertahankan hasil risetnya. Kemandirian riset
berarti mahasiswa yang memegang inisiatif dan kendali dalam
mempersiapkan, menjalankan, dan menyelesaikan risetnya. Ibaratnya
melakukan perjalanan menerabas hutan lebat yang tidak dikenal, mahasiswa
harus menjalaninya sendirian, dari menentukan tujuan perjalanan,
memilih rute, memilih alat transportasi, sampai dengan menghadapi
rintangan, halangan, dan berbagai kesulitan yang ditemui selama menempuh
perjalanan. Bimbingan dari promotor biasanya hanya berupa arahan dan
petunjuk yang bersifat umum. Mahasiswa harus menerjemahkannya ke dalam
bentuk aksi-aksi nyata yang hanya dimengerti oleh dirinya sendiri.
Riset S3 adalah sebuah perjalanan hidup yang arah dan caranya
ditentukan oleh mahasiswa sendiri. Di balik tantangan yang begitu besar,
tersembunyi
reward yang besar pula bila dapat menjalaninya
dengan baik. Dalam setiap riset S3 selalu ada persoalan yang ingin
diselesaikan atau pertanyaan yang ingin dijawab. Pada umumnya
persoalan/pertanyaan ini diurai menjadi persoalan-persoalan yang lebih
sempit dan spesifik, sehingga lebih mudah untuk memecahkannya. Riset
adalah usaha untuk menjawab persoalan-persoalan ini, dan menyusun
jawaban-jawaban yang diperoleh ke dalam sebuah konstruksi yang utuh
sebagai jawaban atas pertanyaan utamanya.
Proses menemukan jawaban atas persoalan-persoalan atau
pertanyaan-pertanyaan itulah yang pada akhirnya membawa
pemahaman-pemahaman baru kepada mahasiswa. Proses ini akan merangkai
pengetahuan-pengetahuan yang telah dimiliki
(prior knowledge) dengan metode-metode ilmiah untuk membentuk pengetahuan-pengetahuan baru
(acquired knowledge).
Persoalan atau pertanyaan riset selalu bersifat terbuka, artinya
tidak ada satu jawaban eksak, dan saat ia diajukan, tidak ada yang tahu
seperti apa jawabnya. Seberapa jauh persoalan riset akan dijawab, dan
seberapa jauh pengetahuan baru dapat digali dan dikonstruksi sangat
tergantung pada mahasiswa. Riset yang baik adalah riset yang dapat
menghasilkan jawaban yang jelas dan runtut, serta menggali banyak
pengetahuan baru yang menambah khasanah pengetahuan yang sudah ada.
Faktor inilah yang menentukan tingkat kualitas riset S3.
Di mana letak
reward riset S3? Menurut pengalaman orang-orang yang pernah menjalani studi S3, baik proses riset maupun hasilnya dapat memberikan
reward
yang setimpal dengan usaha yang dikeluarkan. Menjalankan riset berarti
melatih intelektualitas dalam mencari jawaban dengan menggunakan metode
yang obyektif, runtut, dan sistematis. Di dalamnya ada proses penalaran,
menguji hipotesis, mencari data pendukung yang valid dan menerapkannya,
menganalisis fenomena, sampai ke menarik kesimpulan. Aktivitas riset
sebenarnya melatih cara berpikir kita. Jika terlatih berpikir secara
runtut dan sistematis, maka kita akan nyaman untuk menghadapi berbagai
persoalan yang menuntut solusi yang tepat. Kemampuan inilah yang
sebenarnya sangat berharga bagi seorang mahasiswa S3. Setelah lulus, ia
akan dilengkapi dengan pisau intelektual yang tinggi yang bisa digunakan
dalam bidang apapun juga, bahkan dalam situasi-situasi non-ilmiah.
Mendapatkan hasil atau temuan dalam tiap tahapan riset juga membawa
kepuasan tersendiri. Gambaran situasinya seperti saat Archimedes berseru
“Eureka!”. Hasil dan temuan riset adalah hal-hal baru yang membawa
mahasiswa ke “ujung ilmu pengetahuan”. Saat itu, ia adalah orang yang
paling paham tentang topik penelitiannya. Bagi yang pernah mengalami,
perasaan itu tidak tergantikan oleh apapun.
Selain itu, konstruksi pengetahuan yang terbentuk juga menjadi aset
intelektual yang sangat berharga bagi mahasiswa. Dengan pengetahuan ini,
ia menjadi ahli di bidangnya dan dapat menggunakan ilmunya untuk
berkarya setelah lulus. Ia dapat melanjutkan penelitiannya,
menerapkannya dalam konteks dan lingkungan nyata, atau mengajarkannya
kepada mahasiswa lain.