Semua profesi tentu saja memiliki kelebihan dan kekurangannya, pun menjadi dosen.
Salah satu hal baik menjadi dosen di Indonesia adalah kemudahannya
menjadi dosen tetap/ tenure. Di beberapa negara lain, tak mudah menjadi
dosen tetap. Kawan-kawan saya yang bergelar Doktor di Jepang atau
Perancis, misalnya mesti mengikuti post-doc dulu, menerbitkan
disertasi-nya menjadi buku, baru bisa melamar menjadi dosen tetap,
itupun kalau ada lowongan (kabarnya semakin jarang). Kompetisi-nya juga
cukup ketat karena portofolio di bidang akademik seperti publikasi
ilmiah amat menentukan. Kalaupun ada kasus master menjadi dosen tetap,
ini hal yang amat langka sekali, mungkin hanya untuk orang-orang
cemerlang saja.
Di indonesia, syarat menjadi dosen hanya bergelar master saja. Bahkan
beberapa tahun lalu, orang bergelar sarjana bisa menjadi dosen tetap.
Aku-pun menjadi dosen tetap PNS ketika masih sarjana dan kemudian
melanjutkan kuliah S2 dan sekarang S3 dalam status sebagai dosen tetap.
Artinya titik berangkat menjadi dosen di Indonesia jauh lebih mudah
daripada di negara lain yang saya ketahui.
Dalam kondisi semacam ini, tentu saja wajar jika kualitas pendidikan
tinggi di Indonesia masih tertinggal dari negara-negara lain yang semua
dosennya bergelar Doktor. Hal ini nampaknya disadari pemerintah dengan
menggelontorkan beasiswa S2 dan S3 baik di dalam dan luar negeri. Jumlah
beasiswanya amat banyak, kabarnya kuota tak pernah tercapai. Namun
sayang, pengelolaan beasiswa-nya berjalan buruk, datangnya uang sering
terlambat dan banyak ketidakpastian informasi. Walaupun begitu, jumlah
penerima manfaat (baca: beasiswa) dari pemerintah cukup besar, sampai
tahun 2012, tercatat 29.632 dosen/calon dosen sedang disekolahkan di
dalam negeri dengan berbagai skema dan 3662 dosen/calon dosen juga
sedang disekolahkan ke luar negeri dengan berbagai skema. (
studi.dikti.go.id)
Artinya akan ada lonjakan dosen bergelar master dan doktor dalam
beberapa tahun ini, sedangkan diharapkan tak ada lagi dosen bergelar
sarjana. Oh ya, silahkan baca data dosen berdasarkan pendidikan
disini.
Namun Dosen di Indonesia memang menghadapi persoalan yang tak mudah untuk menghasilkan performance yang baik.
Diluar buruknya fasilitas, perpustakaan atau seringnya tak ada meja kerja bagi dosen (di
beberapa
banyak kampus), persoalan yang cukup sering dibahas memang soal
penghasilan. Hal ini sudah bolak-balik dibahas di berbagai forum.
Terakhir seorang dosen PNS bergelar master lektor IIId diomeli dan
dianggap tidak bersyukur karena mengeluhkan gaji-nya yang lebih kecil
dari tukang sampah dan penjaga apartemen di perancis. Aku juga pernah
menuliskan perbandingan menjadi dosen di indonesia dan malaysia di
sini.
Seberapa besar/kecil-kah gaji dosen di Indonesia?
Gaji pokok seorang dosen di Indonesia sama kecilnya dengan PNS lain di Indonesia. Silahkan dilihat
disini,
golongan satu dan dua PNS di Indonesia lebih kecil dari UMR beberapa
Provinsi di Indonesia. kalau dosen pengangkatan pertama IIIb MKG 0 tahun
ya gaji pokoknya Rp. 2.278.900, beberapa puluh ribu diatas UMP Jakarta
;).
Memang ada tambahan tunjangan beras/istri/anak, jumlahnya beberapa
ratus ribu saja. Silahkan bandingkan dengan gaji pertama beberapa
perusahaan swasta/bumn berikut
disini. Oh
ya, ada juga sih beberapa kampus swasta yang menggaji dosennya dengan
standar perusahaan swasta yang baik, gaji pertamanya sekitar tiga atau
empat kali gaji pertama dosen PNS di Indonesia.
Hmm tapi sejujurnya, dibandingkan dengan pekerjaan lain, dosen adalah
pekerjaan yang menarik. Cepat atau lambatnya karir seorang dosen, lebih
tergantung dari kapasitas dan produktivitasnya. Semakin produktif
menghasilkan karya ilmiah, terutama di Jurnal terakreditasi dikti atau
jurnal internasional, semakin cepat laju karirnya.
Seorang dosen di Indonesia memiliki empat jenjang jabatan fungsional (Jafung)/ jabatan akademik dosen.
Mari kita simulasikan bagi mereka bergelar S2 jika berkarir menjadi dosen.
Ketika melamar dan diterima statusnya Tenaga Pengajar, artinya dosen
yang belum memiliki jabatan fungsional dosen. Setelah setahun biasanya
sudah boleh mengajukan jafung asisten ahli. Angka kredit asisten ahli
IIIb hanya 150 yang sudah pasti bisa didapatkan dari ijazah S2, namun
tentu saja mesti tetap ditambah 10 kredit dari kegiatan penelitian,
pengajaran dan pengabdian, plus ditambah mesti punya publikasi minimal
di jurnal nasional. Sesuai
Perpres 65 tahun 2007 tunjangan fungsional jumlahnya
Rp.375.000,- sedangkan lektor Rp. 700.000,-
Dua tahun kemudian bisa mengajukan kenaikan ke jabatan fungsional
lektor dengan angka kredit 200-399. Artinya mesti mengumpulkan angka
kredit sebanyak minimal 100 dari kegiatan tridharma: pengajaran,
penelitian dan pengabdian pada masyarakat. Proses pengajuan ke lektor
bisa lebih cepat jika memiliki
Jurnal nasional terakreditasi dikti .atau
Jurnal internasional bereputasi, bahkan bisa lompat jabatan fungsional.
Nah dua tahun kemudian bisa mengajukan kenaikan ke jabatan fungsional
lektor kepala. Jumlah kredit lektor kepala adalah antara 400-849.
Berapa tunjangan lektor kepala? Rp. 900.000,-
Nah, kasta tertinggi di dunia perdosenan adalah menjadi Profesor.
Dulu, menjadi profesor syaratnya memiliki angka kredit 850, bergelar
doktor, minimal 3 tahun jadi lektor kepala dan punya satu tulisan di
jurnal terakreditasi dikti, gampang kan?
Kini sesuai permenPAN 46 2013, syaratnya menjadi jauh lebih sulit
karena selain angka kredit minimal 850 seorang LK baru bisa mengajukan
menjadi Profesor setelah tiga tahun memiliki ijazah Doktor (kecuali
punya tulisan di jurnal internasional berputasi setelah meraih gelar
doktor), dua tahun menjadi LK dan memiliki tulisan di Jurnal
Internasional bereputasi sebagai penulis pertama, dan minimal 10 tahun
menjadi dosen. Tunjangan seorang Profesor memang hanya Rp. 1.350.000,-
namun bisa mendapatkan tunjangan kehormatan sebesar dua kali gaji pokok.
Oh ya, untuk anda yang cemerlang, ada kesempatan lompat dari asisten
ahli ke lektor kepala dan dari lektor ke guru besar. Perhatikan tabel di
bawah ini:
Hmm berikut tabel tunjangan fungsional dosen menurut
Perpres 65 tahun 2007 yang beberap kali saya sebutkan di atas:
Oh ya, sumber pendapatan lain bagi dosen adalah sertifikasi dosen
yang sudah berjalan beberapa tahun lalu. Jumlah tunjangan sertifikasi
dosen adalah satu kali gaji pokok. Namun baru
47% dosen di Indonesia yang tersertifikasi, sisanya 57% belum bersertifikasi yang artinya juga belum mendapatkan tunjangannya.(http://www.koran-sindo.com/node/313281). baru
39% dosen Indonesia yang sudah tersertifikasi. Sisanya, 69% belum
tersertifikasi. Syarat sertifikasi juga (dibuat) semakin berbelit dan
aneh
sulit. Tahun ini ada syarat berkas tambahan, sertifikat
TOEFL dan TPA yang entah apa hubungannya dengan sertifikasi dosen. Data
tentang sertifikasi dosen bisa dibaca
di sini.
Karena itulah, menjadi Profesor secepat mungkin adalah jalan terbaik
dalam berkarir sebagai dosen. Dari sisi finansial, bisa mendapatkan
empat kali gaji pokok, plus tunjangan fungsional guru besar. Mari kita
hitung
secara kasar, katakanlah seorang profesor
golongan IVd dengan MKG 10 tahun dengan gaji pokok Rp. 3.412.000, maka
take home pay-nya adalah (Rp. 3.412.000,-X4) + Rp. 1.350.000,-. = Rp.
14. 998.000,-.
Jumlah tersebut lebih dari dua kali lipat dari Lektor Kepala IIId MKG
10 tahun yang mendapatkan (Rp. 2. 801.000,- X 2) + Rp. 900.000,- = Rp.
6.502.000,-.
Jika punya jabatan, maka akan mendapatkan pendapatan tambahan sebagai berikut (
Perpres 65 tahun 2007):
Maka, karena besarnya jumlah pendapatan Profesor, jumlah dosen yang
mengajukan diri menjadi profesor melonjak drastis. Menurut Supriadi
Rustad, hanya 30% yang diterima dalam pengajuan menjadi Profesor setiap
bulannya. Sisanya, 70% ditolak karena berbagai alasan antara
lain: karena alasan pelanggaran etika dan profesionalisme, seperti
pemalsuan dokumen karya ilmiah. Pemalsuan itu seperti mencantumkan
jurnal rakitan, jurnal ”bodong”, artikel sisipan, label akreditasi
palsu, nama pengarang sisipan, buku lama sampul baru, dan nama pengarang
berbeda. (
www.suaramerdeka.com).
masih menurut Supriadi Rustad, pada tahun 2012 di Ditjen Dikti dari
pengajuan Profesor sebanyak 115 orang, hanya 77 orang yang layak
menjadi Profesor. (
http://www.jpnn.com/read/2013/02/09/157651/Gelar-Guru-Besar-tak-Sembarangan-)
Namun tentu saja tak bisa kita menggeneralisir bahwa semua orang yang
mengajukan jabatan fungsional adalah mereka yang menghalalkan segala
cara. Entah kenapa, ada saja orang-orang yang membuat opini negatif
tentang orang-orang yang mengajukan diri menjadi Profesor. Coba saja
baca tulisan ini
http://edukasi.kompasiana.com/2013/04/28/akal-akalan-dosen-busuk-untuk-menjadi-profesor-550981.html.
Sayangnya tulisan tak berimbang semacam ini tersebar luas dan kemudian
membuat opini kuat bahwa mereka yang mengajukan jabatan fungsional
Profesor adalah dosen mata duitan dan menghalalkan segala cara.
Apakah semua begitu?
Padahal kalau mau berpikir lebih seimbang — tanpa memungkiri banyak
yang curang juga — ada juga dosen yang menjadi Profesor karena bekerja
keras dan jujur, bahkan mendapatkannya di usia muda. Contoh cukup baik
misalnya Agung Eko Nugroho di UGM atau Eko Prasojo dan Ibnu Hamad di UI.
silahkan baca tulisan tentang menjadi Profesor (Guru Besar)
disini. Kemudian
menurut peraturan terbaru, profesor juga memiliki kewajiban khusus
berupa menulis di jurnal internasional, menyebarluaskan ilmu (presentasi
di seminar) dan menulis buku, yang dievaluasi setiap lima tahun.
Jadi seperti ide awal di tulisan ini, karir dosen memang tergantung
dari seberapa kompetensi dan produktivitas seorang dosen. Jika Ia
produktif dan bersekolah dengan semangat sampai S3, maka laju karirnya
juga bisa cepat. Namun jika malas sekolah dan juga tidak produktif
meneliti dan publikasi, tentu saja akan terlindas zaman.
Berbagai perubahan ini menimbulkan dampak serius. Ada (sebagian)
dosen yang telanjur berumur dan belum sekolah Doktor yang karirnya
terancam mengalami stagnasi. Sebaliknya ada juga (sebagian) dosen
yang sudah/ sedang bersekolah Doktor baik di dalam dan luar negeri yang
bisa melaju karirnya. Namun juga tidak mudah karena harus terus
berproduksi (baca: meneliti dan publikasi). Jika malas, juga sulit untuk
mencapai karir tertinggi menjadi Profesor. Bahkan Lektor Kepala yang
sudah berijazah doktor-pun sekarang tidak mudah menjadi Guru Besar
karena harus memiliki publikasi di Jurnal internasional bereputasi.
Bahkan bagi yang telanjur jadi profesor-pun sekarang
muncul aturan pencabutan tunjangan jika tak mampu menghasilkan publikasi di jurnal internasional,
Oh ya, satu lagi. bagaimana nasib dosen yang masih S1 ya?, secara
misalnya peraturan-peraturan baru sudah tidak mencantumkan dosen S1 di
dalamnya. Pendidikan minimal dosen sesuai UU Guru dan Dosen No. 14 2005
adalah magister untuk mengajar jenjang Diploma dan Sarjana. Nah dosen
berpendidikan S1 memiliki waktu sampai 30 Desember 2015, persis sepuluh
tahun setelah UU Guru dan Dosen diundangkan. Penjelasan super-komplit
dari
Bunda Fitri bisa dibaca di
sini.
Hmmm… inilah dunia dosen, bagaimana menurut anda?
disclaimer: Oh ya, tulisan ini lebih banyak soal dosen PNS, maklum
tak tahu banyak dunia dosen swasta, mungkin baik juga jika ada yang mau
menuliskannya
:)
update:
Penting ! Artikel terkait dan Panduan Komplit dengan regulasi terbaru:
1.
Panduan Memulai Berkarir Sebagai Dosen di Indonesia Jika Anda Bergelar Doktor
2.
Panduan Memulai Berkarir Sebagai Dosen di Indonesia Jika Anda Bergelar Master
3.
Mari Menjadi Guru Besar
Dengan banyaknya perkembangan dunia perdosenan dan pendidikan tinggi,
maka saya membuat website khusus sebagai rumah dosen di di
www.dosenindonesia.net. Semoga bermanfaat dan barokah ya.
~@ abdul hamid Fisip Untirta