Kamis, 04 Desember 2014

SRI UTAMI, TOKOH INSPIRATIF PEMILIK RS MOJOSONGO SOLO



Sri Utami, Manajer yang Jadi Buruh Cuci (1)
Senin, 21 Mei 2012
Sri Utami
Foto: Romy Palar/Nova
Inilah Sri Utami , satu dari 10 Perempuan Inspiratif NOVA 2011. Dalam tempo 10 tahun, ia mendirikan tiga buah Rumah Sakit (RS) bernama Mojosongo. Sebelumnya, ia seorang manajer perusahaan yang kemudian melakoni pekerjaan sebagai penjaja jamu keliling dan barang rosokan. Ia juga pernah mencicipi jadi buruh cuci pakaian dan memasak untuk para kuli bangunan. Sore hingga malam, ia menjelma menjadi instruktur senam aerobik dan penyanyi di cafe. Simak dasyatnya lika-liku perjalanan hidup ibu empat anak ini.
Sekarang ini, aku memang memiliki tiga RS untuk ibu dan anak bernama RS Mojosongo. Lokasinya di Solo, Palur, dan Delanggu. Semuanya masuk Karesidenan Surakarta. Tiga RS itu aku bangun untuk masyarakat miskin yang sakit. Yang aku bangun bukan hanya gedung dan peralatannya, melainkan juga sistemnya. Aku ingin orang miskin yang sakit bisa berobat dengan harga terjangkau oleh kantong mereka.
Lain dari tujuan mulia itu, RS Mojosongo ini awalnya aku persembahkan sebagai hadiah ulang tahun untuk suamiku yang jatuh pada tanggal 1 April.
Aku dilahirkan di Kediri, 13 Oktober 1948. Bapakku, selain seorang tokoh agama yang terkenal kala itu, adalah penilik sekolah. Sementara ibuku, Sihmini, berprofesi sebagai kepala sekolah Sekolah Rakyat.
Semasa remaja, pagi aku sekolah bidan, sore di SMA. Setelah lulus, aku bekerja sebagai bidan di PKU Solo, sembari meneruskan kuliah di jurusan Filsafat Kebudayaan IKIP Negeri Solo hingga meraih gelar sarjana muda. Lulus kuliah, aku sempat bekerja di sebuah perusahaan di Bandung. Jabatan terakhirku manajer personalia. Kerja baikku membuahkan hasil. Gajiku cukup untuk hidup, bahkan aku bisa membeli tiga buah mobil.
Lalu, suatu kali aku harus pulang ke Solo dan menikah dengan pemuda bernama Muzakir, yang kala itu berprofesi sebagai guru SD. Sebenarnya ada beberapa pemuda yang menaksirku dan mereka sering bertandang ke rumah orangtuaku. Tetapi Bapak bilang, sebaiknya aku menikah saja dengan Muzakir karena ibadahnya bagus.
Aku sempat mengajukan keberatan dengan calon pilihan Bapak. Muzakir berasal dari keluarga miskin, sementara kami saat itu tergolong terpandang dan berada. Tapi Bapak tetap pada pendiriannya. Beliau yakin, rumah tanggaku akan lebih baik bersama Muzakir. Aku pun akhirnya menuruti nasihat Bapak. Kelak, pilihan Bapak terbukti benar.
Nah, sejak menikah itulah kulepaskan jabatanku sebagai manajer perusahaan dan hidup di Solo bersama suami. Lalu, aku bekerja sebagai guru di SLTA swasta di Cokro. Hidupku pun berubah.
Sri Aerobik
Dulu, Sri pun mengajar senam aerobik dan fitness."Padahal, aku belajar hanya dari CD, lho,''ujarnya. (Foto: Dok Pri)
Menjadi Buruh Cuci
Di awal pernikahan, kami masih tinggal di rumah kontrakan. Kami kemudian membeli rumah dengan cara mengangsur di kawasan Perumnas Palur. Sekadar info, kala itu Perumnas Palur sedang gencar dilakukan pembangunan perumahan besar-besaran bagi pegawai negeri.
Nah, melihat banyak rumah dibangun, terpikir olehku untuk menawarkan jasa menjadi buruh cuci baju dan masak bagi para tukang bangunan itu. Ternyata mereka mau. Per hari, aku diberi uang makan Rp 150 per orang. Padahal ada beberapa rumah yang tengah dibangun. Minimal saat itu ada 20 tukang yang aku cucikan bajunya.
Agar hidup terus berlangsung, aku harus kerja keras. Tiap hari, aku sudah melakukan aktivitas sejak jam 24.00. Setelah beres-beres urusan rumah, aku salat tahajud dan berzikir . Sekitar jam 02.00 aku sudah ke pasar untuk belanja sayuran
Pekerjaan yang aku lakoni tak berhenti di situ. Jam 03.00 aku lanjutkan dengan berjualan jamu dari pabrik milik Pak Jaya Suprana di Semarang. Paling tidak selama sejam aku jualan jamu melayani pekerja kasar yang sudah meramaikan pasar di pagi hari.
Menjelang Subuh aku pulang. Bila terdengar azan, aku segera salat subuh di masjid yang kulewati. Tiba di rumah, aku jualan sayuran ke para tetangga. Tak sedikit dari mereka yang berutang dulu. Selesai jualan sayur, aku masak dan mencuci baju tukang bangunan. Selesai itu, aku mulai mempersiapkan anak-anak berangkat ke sekolah. Aku sendiri yang mengantar-jemput mereka ke sekolah dengan naik mobil. Kadang sambil mengantar anak ke sekolah, aku mampir ke rumah teman atau orang-orang untuk membeli kaleng-kaleng bekas.
Oh ya, kadang malam hari aku juga masih jualan jamu keliling, lho. Biasanya aku keliling kampung pakai mobilku sendiri. Untuk itu aku dimodali bensin 5 liter dari perusahaan jamu. Daganganya aku beli kontan, jadi untungnya bisa kukantungi sendiri. Lumayan, kok, hasilnya. Rutinitas sebagai buruh cuci, tukang masak, jualan klithikan , dan jualan jamu keliing aku lakukan sekitar 5 tahun lamanya. Mulai dari belum punya anak, sampai anakku 4 orang.
Kel Sri Utami
Bersama suami dan keempat putra-putrinya. Sri kini merasa hidupnya sudah semakin lengkap. (Foto: Dok Pri)
Sekolahkan Suami
Ada kisah unik kala aku harus melahirkan anak pertama dan keduaku. Asal tahu saja, keduanya aku lahirkan di rumah. Persalinannya kulakukan sendiri dengan dibantu suami. Aku yang memotong tali pusarnya, setelah pisau pemotong ari-ari disterilkan suamiku. Alhamdulillah, kami bisa kerjasama dengan baik dan akhirnya persalinan bisa selamat. Persalinan anak ketiga dan empat, juga kulakukan bersama suami. Bedanya kala itu suamiku sudah menjadi dokter.
Ya, dari guru SD, suamiku kemudian memang menjadi dokter spesialis anestesi. Aneh? Ah, tidak. Semua ada proses dan kisah panjangnya. Aku mulai ceritanya dari masa pengantin baru saja, ya. Jadi, selain mengajar di SD dan berstatus PNS, suamiku juga nyambi jualan minyak tanah keliling dengan cara dipikul. Aku yang kemudian meminta suamiku meneruskan studinya hingga bisa meningkat menjadi guru SMP.
Singkat cerita, suamiku bisa meraih gelar sarjana muda. Statusnya pun meningkat jadi guru SMP. Ia lalu kuliah S1 dan bisa menjadi guru SMA, bahkan dosen. Aku senang dan ikhlas selama membiayai dia kuliah. Aku berlagak banyak uang saja saat itu. Padahal aku kerja keras apa saja asal menghasilkan uang. Suamiku malah tidak tahu dari mana saja aku mendapatkan uang untuk membiayai sekolahnya.
Suatu kali suami cerita kepadaku, dirinya pernah diterima sebagai mahasiswa kedokteran di AMN Angkatan Laut. Tapi baru 9 bulan terus dipulangkan. Nah, dari cerita itulah akhirnya aku tergerak menyekolahkan suami ke Fakultas Kedokteran di PTPN Solo.
Jujur, saat itu kuliah di fakultas kedokteran swasta mahalnya luar biasa. Kamipun harus hidup serba prihatin. Dulu, yang bisa tinggal di Perumnas, kan, PNS yang sudah berpangkat. Ada aneka profesi yang tinggal di sana. Nah, ketika kumpul-kumpul bersama ibu PKK, ada saja yang tak mau duduk bersebelahan denganku yang hanya buruh cuci dan jualan sayuran. Tapi aku tak berkecil hati.
Aku pun menarik diri dan lebih suka berasyik ria dengan duniaku sendiri. Berjualan, mengurus anak dan suami, serta beramal. Aku suka sekali menabung dan setelah terkumpul kubelikan obat-obatan. Setelah terkumpul, aku dan suami mengadakan pengobatan massal gratis di satu tempat. Biasanya aku dibantu teman-teman atau murid senamku. Oh ya, aku lupa menceritakan, bila pagi menjadi buruh cuci, sore harinya aku masih sempat mengajar senam aerobik dan fitness buat ibu-ibu.
Akhirnya, suamiku pun jadi dokter. Kabar itu kemudian tersiar ketika tukang foto yang kumintai tolong memotret suami saat disumpah sebagai dokter mengedarkan foto acara itu ke tetangga. Semua orang kaget. Mereka tak mengira, si penjual sayuran ternyata suaminya kini seorang dokter. Ha ha ha.
Reaksi berbeda datang dari penghuni Perumnas yang kaya-kaya. Ibu-Ibu yang semula tak mau duduk bersanding denganku di acara kumpulan PKK, tanpa alasan jelas tiba-tiba ada yang datang ke rumah di siang hari. Perangai mereka pun berubah baik kepadaku. Air muka mereka tak lagi menghadapi perempuan si penjual sayuran, melainkan istri dokter!
Rini Sulistyati / bersambung

 Sri Utami Ingin Bertemu Dahlan Iskan (2)
Senin, 21 Mei 2012
sri utami
Foto: Romy Palar/Nova
Menjadi istri dokter Puskesmas di sebuah desa terpencil di Blitar (Jatim) membuat Sri Utami stres. Hatinya hancur setiap melihat warga miskin di sekitarnya tak bisa berobat karena terbentur masalah biaya. Berniat menolong mereka, Sri membuat Rumah Sakit (RS) dengan harga terjangkau. Tak hanya satu, ia mendirikan tiga RS Mojosongo.
Usai suami diwisuda menjadi dokter, aku dan empat anak kami diboyong suami ke Desa Bakung, Blitar (Jatim). Suamiku ditugaskan sebagai dokter Puskesmas dan diberi rumah dinas di tengah hutan. Maka, segala macam profesi yang aku lakoni kuhentikan. Aku pun berubah menjadi ibu rumah tangga 100 persen.
Rumah dinas suamiku dikelilingi pohon besar. Bila angin bertiup kencang, aku ketakutan. Kadang rumah kami juga kemasukan ular. Di rumah yang terpencil ini aku seakan terisolasi. Jangankan menyalurkan hobiku menulis artikel di berbagai koran dan majalah, membaca surat kabar saja aku tak bisa. Dengan kata lain, aku mendadak stres!
Setiap hari, aku juga ‘dipaksa’ menyaksikan pasien yang rata-rata tidak mampu. Macam-macam kasus yang aku temui. Misalnya, ada perempuan hamil tapi tak tahu siapa bapaknya, ada juga ibu yang membunuh bayinya sendiri. Melihat kenyataan seperti itu, aku semakin stres.
Memang, sebagai istri pejabat di tingkat kecamatan aku pun sering mendapat undangan kumpul bersama, makan-makan di kecamatan. Tapi kegiatan itu sangat tidak aku sukai. Bagaimana mungkin aku menikmati acara makan-makan sementara warga sekitarnya ketika itu belumlah sejahtera.
Ranjau Kehidupan
Untuk menghilangkan stres, akhirnya aku memilih ikut ke lapangan saat suamiku mengadakan pengobatan massal dari desa ke desa. Biasanya aku jadi seksi sibuk, membantu menyiapkan obat-obatan atau melakukan apa saja.
Karena keseringan melakukan aksi seperti itu, suamiku mendapat julukan Dokter Umplungan . Pernah Pak Dahlan Iskan, yang sekarang menjadi Menteri BUMN, menulis tentang aksi suamiku saat beliau masih jadi wartawan. Akibatnya, suamiku semakin terkenal. Beberapa koran lokal dan nasional ikut menuliskan kisahnya. Imbasnya, suamiku terpilih menjadi dokter teladan. Awalnya hanya tingkat kabupaten, lalu tingkat Provinsi Jawa Timur, dan terakhir tingkat Nasional di tahun 1985.
Bila ingat itu semua, kini rasanya aku ingin sekali bertemu Pak Dahlan Iskan. Pasalnya, aku turut menikmati senangnya saat suamiku dinobatkan jadi dokter teladan. Selama sebulan aku diajak suami ke Jakarta menginap di Hotel Wisata. Banyak acara bergengsi yang kami datangi di zaman Orde Baru itu.
Meski begitu, selama delapan bulan menjadi dokter Puskesmas, suami tak kunjung mendapatkan gaji. Alhamdulillah, kami bisa bertahan dengan uang hasil penjualan mobil dan barang berhargaku di Solo. Ditambah lagi, dari Solo aku membawa aneka benih tanaman pemberian para bakul dan tukang becak di pasar. Benih-benih sayuran itu aku tanam di halaman rumah dinas yang luas. Hasilnya bisa kupetik untuk disayur setiap hari.
Selama menjadi istri dokter Puskesmas, aku juga kenyang makan singkong pemberian para pasien. Mereka tak membayar jasa suamiku dengan uang, melainkan dengan singkong! Akibatnya, di dapurku bertumpuk singkong. Kadang singkong itu aku goreng, lalu aku masukkan ke kaleng-kaleng, lantas kubagikan lagi ke pasien atau tamu yang datang ke rumah. Sisanya kami makan sendiri. Ha ha ha.
Setelah suami menjadi dokter teladan, kami kembali ke Solo. Dari sinilah terbetik keinginanku agar suami kembali kuliah, mengambil spesialis. Ketika kuutarakan niatku menyekolahkan suami sebagai dokter spesialis, eh, dia marah. Dia bilang, kami sudah melalui serangkaian “ranjau” kehidupan, jadi kini giliran uangnya yang membiayai anak-anak.
Selagi dia marah, aku diam saja. Setelah puas marahnya, aku jelaskan bahwa aku akan bekerja lagi untuk membiayai kuliahnya. Akhirnya suamiku luluh. Dia mau kuliah lagi mengambil spesialis anestesi di FK UNDIP Semarang.
Kami pun berpisah jarak lagi karena dia harus kos di Semarang. Tapi dengan kondisi itu aku bisa leluasa bekerja lagi. Kali ini pekerjaanku lebih “elit”. Aku berkecimpung di dunia entertainment . Aku sewa ruangan di hotel sebagai arena menyanyi. Aku jualan tiket bagi orang-orang yang ingin bersenang-senang, menyanyi dan kumpul teman. Aku juga kembali mengajar senam, mengajari memotong rambut, mengajari memasak, menyanyi tiap malam di kafe. Kadang juga menjadi MC.
Semenjak tinggal di kota, aku juga bisa menulis artikel lagi untuk berbagai majalah. Juga memotret untuk murid senam yang kepengin difoto. Pernah, lho, karya fotoku meraih juara di perlombaan yang diadakan salah satu produsen mobil.
RS Mojosongo 2
Inilah salah satu RS Mojosongo milik Sri Utami. " Awalnya ini adalah hadiah ulang tahun buat suami,''ujarnya. (Foto: Repro, Rini/NOVA)
Berkelana ke Kupang
Karena pekerjaanku banyak, uangku juga praktis jadi banyak. Masing-masing hasil kerja kupilah-pilah. Kerja dari kegiatan A untuk biaya kuliah suami, kerja B untuk biaya sekolah anak, dan kerja C untuk amal. Suami tak tahu apa saja jenis pekerjaanku. Tahunya tiap kali butuh bayar kuliah, aku ada uang. Suami dan anak-anak juga baru tahu jenis pekerjaan yang pernah kulakoni setelah aku menuliskan kisahku untuk mengikuti ajang Perempuan Inspiratif NOVA 2011! Ha ha ha.
Membiayai suami dan anak-anak sekolah tidak membuatku mengeluh seperti ibu-ibu para murid senamku. Memang aneh. Mereka punya suami mapan, ada penghasilan, tapi masih mengeluh soal suami dan anaknya. Keluhan-keluhan itu biasanya ditumpahkan kepadaku. Semua kutampung dan semakin mendewasakan aku. Maklum, orang berduit ikut senam, kan, buat pelepasan dari perseoalan yang muncul di keseharian juga.
Nah, kembali ke soal kuliah suamiku, ya. Ketika suami lulus sebagai dokter anestesi, anak-anak masih SMA. Yang kecil bahkan masih SD. Suatu kali suami memberitahu bakal ditugaskan ke Kupang. Wah, betapa kecewanya aku. Sudah habis-habisan tak pernah kumpul dengan suami, eh, setelah lulus dia mau ke Kupang. Sewotlah aku! Saat melepas kepergiannya di bandara, tak sekalipun aku tersenyum kepadanya.
Suatu kali aku terima berita dari Kupang yang mengabarkan suamiku mengalami tremor. Aku diminta segera datang ke Kupang bersama Zain, anak bungsuku. Berbekal uang seadanya aku berangkat ke Kupang tanpa mengabari suami sebelumnya. Eh, ternyata suamiku di sana sehat-sehat saja.
Setibanya di Kupang suami melarangku pulang ke Solo. Jadilah aku tinggal di sana hingga sembilan bulan lamanya. Tiga anakku di Solo hidup dari uang hasil dagangan berbagai macam barang yang kukreditkan. Untungnya anak sulungku perempuan dan saat itu sudah pintar mengurus dagangan ibunya.
Di Kupang, direktur RS tempat suamiku bpraktik membuatkan ruangan senam bagi para perempuan se-provinsi Kupang. Aku diminta jadi instrukturnya. Aku pun diberi mobil dinas pribadi plus uang bensin untuk mobilitasku selama di sana. Yang paling menggelikan, suatu kali aku belanja ke pasar. Eh, aku dikerubuti orang sepasar. Mereka berteriak-teriak, “Dewi Sartika! Dewi Sartika!” Aku bingung tak tahu apa maksudnya. Karena takut, aku pun ngacir pulang. Belakangan baru aku tahu, orang di pasar mengira aku Dewi Yull, pemeran Dokter Sartika. Sinetronnya di TVRI kala itu memang sedang ngetop.
Asal tahu saja, ketika itu penampilanku memang belum pakai kerudung. Aku masih suka pakai gaun backless , dengan kulit mulus dan harum karena rajin luluran. Kemana-mana pun aku selalu pakai sepatu hak tinggi. Trendi lah pokoknya. Ha ha ha.
Sri Utami bersama keluarga
Sri bersama suami dan putra bungsunya, keduanya kini berprofesi sebagai dokter. (Foto: Repro, Rini/NOVA)
Rumah Sakit Kandang Ayam
Dari Kupang, suamiku pindah tugas lagi menjadi staf ahli di RS Karyadi, Semarang. Aku turut kembali dan tinggal di Solo. Ketika ibundanya Ibu Tien sakit, suamiku dipindahkan ke RS DKT Solo untuk ikut merawat. Mulailah kami hidup “normal” dan tinggal serumah lagi.
Di Solo, ruang gerakku pun semakin leluasa. Mulailah aku keluar-masuk kelurahan melihat statistik penduduk Solo. Ketika itu sudah terpikir olehku untuk membuat sebuah RS sebagai kado ulang tahun suamiku. Kupikir, seorang dokter yang diberi hadiah RS, pasti akan senang. Bila dia senang, aku sebagai istri pun turut senang.
Uang yang aku pakai membangun RS ini murni hasil kerjaku. Asal tahu saja, sampai sekarang aku masihberbisnis, lho. Bedanya, sekarang bisnisku merambah dari sepatu, perawatan badan (luluran), hingga permata. Aku tidak langsung menanganinya, melainkan dikerjakan orang lain.
Awalnya, ada yang menghina RS yang aku dirikan sebagai RS kandang ayam. Tapi menurutku ini RS yang hebat. Memang, aku memulainya dari satu pegawai. Aku bertindak sebagai pembantu umum. Aku membantu memasak, menggantikan posisi sopir, sampai menyapu lantai. Akibatnya, pernah ada pegawai baru mengusirku agar tak duduk di ruang depan karena dia hendak bersih-bersih. Aku tidak marah karena dia tidak tahu bahwa akulah pemilik RS itu. Ha ha ha.
Meski memiliki rumah pribadi di Jl Mangkunsarkoro, aku justru lebih sering tinggal di RS Mojosongo 1 karena di sana aku ada teman. Maklum, suami dan anak-anakku sudah sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Zain, anak bungsuku, kini sudah menjadi dokter dan sekarang mengelola RS Mojosongo Palur. Anak sulungku sudah menikah dan tinggal di Jakarta.
Di RS Mojosongo, selain menerapkan pengobatan dengan biaya murah, kami juga telah membuat beberapa kegiatan. Misalnya, mengadakan pelatihan dan seminar penanganan pasca bedah. Pernah, kami menargetkan peserta seminar sebanyak 100 orang. Ternyata paramedis yang datang dari berbagai RS di Solo dan Yogyakarta membludak hingga 150 orang. Aku sampai kehabisan sertifikat.
Terakhir, seusai terpilih menjadi finalis Perempuan Inspiratif NOVA 2011, aku diwawancarai TV swasta. Sejak itu, kiprahku makin berkembang. Banyak rombongan dari berbagai institusi ingin bertemu denganku. Misalnya, pemilik sebuah RS dan dokter dari Lampung, ibu-ibu PKK, hingga rombongan dosen universitas. Aku juga kerap diminta jadi pembicara di kampus-kampus. Terang saja aku senang. Aku bisa tambah teman dan makin pintar karena bisa saling bertukar ilmu.
Begitulah sekilas kehidupanku. Semoga bisa menambah semangat dan membuahkan hikmah bagi yang membacanya. Amin.
(TAMAT)
Rini Sulistyati

Kamis, 27 November 2014

DEKAN & PEMBANTU DEKAN FEB UGM DARI TAHUN KE TAHUN

 
 
Sejarah Kepengurusan
Pengurus Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada yang pertama adalah Prof. Kertanegara, S.H. dan Prof. Drs. Soenardjo yang masing-masing ditunjuk oleh Pimpinan Universitas Gadjah Mada sebagai Ketua Fakultas dan Sekretaris Fakultas. Pengurus fakultas ini terus berganti, dan secara lengkap, susunan pengurus Fakultas Ekonomika dan Bisnis pada periode-periode berikutnya adalah sebagai berikut:
1. Tahun 1955-1957
  • Dekan: Prof. Kertanegara, S.H.
  • Sekretaris: Prof. Drs. Soenardjo

2. Tahun 1957-1958
  • Dekan: Prof. Kertanegara, S.H.
  • Sekretaris: Prof. I. Gondowardoyo, S.H.
  • Wakil Sekretaris: Drs. P.I. Oey Liang Lee

3. Tahun 1958-1959
  • Dekan: Prof. Kertanegara, S.H.
  • Sekretaris: Prof. I. Gondowardoyo, S.H.
  • Wakil Sekretaris: Roekmono Markam, S.H.
4. Tahun 1959-1960
  • Dekan: Prof. Kertanegara, S.H.
  • Sekretaris: Prof. I. Gondowardoyo, S.H.
  • Wakil Sekretaris: Drs. R.T. Hindarsah Wiraatmadja
5. Tahun 1960-1961
  • Dekan: Prof. Kertanegara, S.H.
  • Sekretaris: Prof. I. Gondowardoyo, S.H.
  • Wakil Sekretaris: Drs. Guntur Sudarsono
6. Tahun 1961-1962
  • Dekan: Prof. Kertanegara, S.H.
  • Sekretaris: Wiyanto, S.H.
  • Wakil Sekretaris: Drs. Irawan
7. Tahun 1962-1963
  • Dekan: Soepojo Padmodiputro, M.A.
  • Pembantu Dekan I: Drs. Soehardi Sigit
  • Pembantu Dekan II: Drs. Bambang Riyanto
  • Pembantu Dekan III: Soetatwo Hadiwigeno, M.A.
8. Tahun 1964-1966
  • Dekan: Drs. Bambang Riyanto
  • Pembantu Dekan I: Drs. Kaswardjono
  • Pembantu Dekan II: Drs. Gunawan Adisaputro, MBA.
  • Pembantu Dekan III: Soetatwo Hadiwigeno, M.A.
9. Tahun 1966-1969
  • Dekan: Drs. Sukadji Ranuwihardjo, M.A.
  • Pembantu Dekan I: Drs. Irawan, MBA.
  • Pembantu Dekan II: Soedarsono, M.Sc.
  • Pembantu Dekan III: Harsono, M.Sc.
10. Tahun 1969-1971
  • Dekan: Drs. Sukadji Ranuwihardjo, M.A.
  • Sekretaris: Drs. Bambang Riyanto
11. Tahun 1971-1973
  • Dekan: Drs. Sukadji Ranuwihardjo, M.A.
  • Sekretaris: Drs. Bambang Riyanto
12. Tahun 1973-1975
  • Dekan: Drs. Sukadji Ranuwihardjo, M.A.
  • Sekretaris: Sukanto Reksohadiprodjo, M.Com.
13. Tahun 1975-1977
  • Dekan: Dr. Soetatwo Hadiwigeno, M.A.
  • Sekretaris: Drs. Kaswardjono
14. Tahun 1977-1979
  • Dekan: Dr. Soetatwo Hadiwigeno, M.A.
  • Sekretaris : Drs. Kaswardjono
15. Tahun 1979-1981
  • Dekan: Dr. Soetatwo Hadiwigeno, M.A.
  • Pembantu Dekan I: Dr. Soelistyo, MBA.
  • Pembantu Dekan II: Drs. Heidjrachman Ranupandojo
  • Pembantu Dekan III: Drs. Gunawan Adisaputro, MBA.
16. Tahun 1982-1985
  • Dekan: Dr. Sukanto Reksohadiprodjo, M.Com.
  • Pembantu Dekan I: Dr. Soelistyo, MBA.
  • Pembantu Dekan II: Drs. Arief Suadi, MBA.
  • Pembantu Dekan III: Drs. Gunawan Adisaputro, MBA.
17. Tahun 1985-1988
  • Dekan: Dr. Sukanto Reksohadiprodjo, M.Com.
  • Pembantu Dekan I: Dr. Budiono Sri Handoko, M.A.
  • Pembantu Dekan II: Drs. Radiosunu, Drs. Slamet Munawir, Akt.
  • Pembantu Dekan III: Drs. Gunawan Adisaputro, MBA.
18. Tahun 1988-1991
  • Dekan: Dr. Dibyo Prabowo, M.A.
  • Pembantu Dekan I: Dr. Nopirin, M.A.
  • Pembantu Dekan II: Drs. R.A. Supriyono, S.U., Akt.
  • Pembantu Dekan III: Drs. Iswardono Sardjono Permono, M.A.
19. Tahun 1991-1994
  • Dekan: Prof. Dr. Soedijono Reksoprajitno, MBA.
  • Pembantu Dekan I: Dr. Suad Husnan, MBA.
  • Pembantu Dekan II: Drs. Ari Sudarman, M.Ec.
  • Pembantu Dekan III: Drs. Bambang Kustituanto, M.A.
20. Tahun 1994-1997
  • Dekan: Dr. Nopirin, M.A.
  • Pembantu Dekan I: Dr. Insukindro, M.A.
  • Pembantu Dekan II: Drs. Harnanto, M.Soc.Sc.
  • Pembantu Dekan III: Drs. Mohamad Adnan Hadjam, M.A.
21. Tahun 1998-2001
  • Dekan: Prof. Dr. Nopirin, M.A.
  • Pembantu Dekan I: Dr. A.R. Karseno, M.A.
  • Pembantu Dekan II: Drs. Harnanto, M.Soc.Sc.
  • Pembantu Dekan III: Drs. Mohamad Adnan Hadjam, M.A.
22. Tahun 2001-2004
  • Dekan: Prof. Dr. Zaki Baridwan, M.Sc.
  • Wakil Dekan Bidang Akademik: Prof. Dr. Basu Swastha Dharmestha, MBA.
  • Wakil Dekan Bidang Administrasi Umum: Drs. Dumairy, M.A.
  • Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan: Drs. Mohamad Adnan Hadjam, M.A.
23. Tahun 2004-2007
  • Dekan: Dr. Ainun Na'im, MBA.
  • Wakil Dekan Bidang Akademik: Dr. M. Masykur Wiratmo, MSc.
  • Wakil Dekan Bidang Administrasi Umum: Dr. Didi Achjari, M.Com.
  • Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan, Alumni dan Kerjasama: Dra. Sari Winahjoe. S, MBA.
24. Tahun 2007-2008
  • Dekan: Dr. Lincolin Arsyad,.M.Sc.
  • Wakil Dekan Bidang Akademik: Dr. Supriyadi, M.Sc.
  • Wakil Dekan Bidang Administrasi Umum: Dr. Didi Achjari, M.Com.
  • Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan, Alumni dan Kerjasama: Dra. Sari Winahjoe. S, MBA.
25. Tahun 2008-2012
  • Dekan: Prof. Marwan Asri, MBA., Ph.D.
  • Wakil Dekan Bidang Akademik, Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat: B.M. Purwanto, MBA., Ph.D.
  • Wakil Dekan Bidang Administrasi, Keuangan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia: Eko Suwardi, M.Sc., Ph.D
  • Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan, Alumni, Kerjasama dan Pengembangan Usaha: Wihana Kirana Jaya, M.Soc.Sc., Ph.D
26. Tahun 2012-2016
  • Dekan: Prof. Wihana Kirana Jaya, M.Soc.Sc., Ph.D.
  • Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kemahasiswaan : B.M. Purwanto, M.B.A., Ph.D.
  • Wakil Dekan Bidang Keuangan, Aset dan Sumber Daya Manusia : Prof. Dr. Slamet Sugiri, M.B.A, Akt.
  • Wakil Dekan Bidang Penelitian, Pengabdian kepada Masyarakat, Kerja Sama dan Alumni : Muhammad Edhie Purnawan, M.A., Ph.D.
  • Wakil Dekan Bidang Perencanaan dan Sistem Informasi: Eko Suwardi, M.Sc., Ph.D.
27. Tahun 2016-2021
  • Dekan: Dr. Eko Suwardi, M.Sc.
  • Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kemahasiswaan: Prof. Mahfud Sholihin, M.Acc., Ph.D.
  • Wakil Dekan Bidang Keuangan, Aset dan Sumber Daya Manusia: Kusdhianto Setiawan, Sivilekonom., Ph.D.
  • Wakil Dekan Bidang Penelitian, Pengabdian kepada Masyarakat, Kerja Sama dan Alumni: Amirullah Setya Hardi, Cand.Oecon., Ph.D.

  •  
  •  

Kamis, 20 November 2014

Karakteristik Studi S3

Studi S3 itu identik dengan riset. Tidak ada program S3 tanpa riset. Sayangnya riset adalah sesuatu yang kadang tidak dimengerti dengan baik oleh calon mahasiswa S3, sehingga kinerja mereka tidak maksimal. Sebelum menempuh pendidikan S3, sebaiknya calon mahasiswa memahami dulu tentang dunia yang akan mereka hadapi, agar bisa menyiapkan diri dengan baik.

Menjadi Mahasiswa S3

Masa studi pada jenjang S3 tidak terlalu berbeda dengan masa studi jenjang S1, tapi mahasiswa S3 menghadapi tantangan yang amat berbeda dibandingkan dengan mahasiswa S1. Mahasiswa S1 yang diterima di sebuah program studi tertentu biasanya memiliki cukup informasi untuk memahami tentang arah dan substansi yang akan dipelajarinya. Ada pemahaman umum tentang bidang studi yang bersangkutan, ada buku panduan akademik yang berisi informasi-informasi resmi tentang program studi tersebut, serta sumber-sumber informal lain seperti dosen atau teman kuliah. Sebaliknya, begitu diterima pada program S3, seorang mahasiswa dihadapkan pada ketidakjelasan tentang apa yang harus ia lakukan. Ia harus menjawab banyak pertanyaan tentang riset yang akan dijalaninya: domain dan lingkupnya, persoalan yang harus diselesaikan, metodologinya, dan sebagainya. Tidak ada jawaban yang pasti untuk semua pertanyaan itu, dan tidak ada orang lain yang bisa membantu mencarikan jawaban. Mahasiswa harus mencari jawabannya sendiri sepanjang studinya, dan inilah yang membuat tantangan pada program S3 jauh lebih berat dibandingkan dengan pada program S1.
Mahasiswa S3 juga dituntut memiliki tanggung jawab lebih besar. Studi yang dilakukannya tidak hanya untuk kepentingan dirinya sendiri seperti halnya mahasiswa S1, tapi harus berimplikasi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di bidang yang ditekuninya. Untuk itu ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seorang mahasiswa S3.
Pertama, seorang calon doktor harus punya kecintaan dan passion terhadap bidang ilmu dan topik riset yang ditekuninya. Selama 3 tahun (sering kali lebih) masa studinya, mahasiswa akan bergelut dan berjuang keras dengan topik risetnya. Perjuangan dalam masa yang cukup panjang ini tidak akan bisa dimenangkan jika tidak ada dorongan internal dari dalam diri mahasiswa. Tanpa motivasi internal, seseorang tidak akan tahan berkutat dengan ketidakjelasan, kebuntuan, rasa frustrasi, kelelahan, dan berbagai perasaan negatif lainnya yang sering muncul dalam kurun waktu studinya.
Kecintaan dan passion adalah buah dari sebuah relasi yang berlangsung cukup lama dan intensif. Keduanya muncul sebagai akibat dari rasa ketertarikan seseorang terhadap sesuatu dan terpenuhinya harapan-harapan yang timbul selama interaksi berlangsung. Masalah rasa seperti ini tidak bisa dipaksakan untuk muncul. Artinya, ketertarikan seseorang terhadap bidang tertentu sejak sebelum menjadi mahasiswa S3 akan memberinya passion yang lebih besar dibandingkan jika orang tersebut baru menyentuh bidang risetnya saat ia memulai studi S3nya.
Yang kedua, seorang mahasiswa S3 haruslah menjadi manajer yang baik, khususnya untuk dirinya sendiri. Studi S3 memerlukan fokus perhatian, usaha keras, dan alokasi waktu yang cukup. Terkadang waktu, perhatian, dan pikiran yang diperlukan melebihi alokasi yang direncanakan, sehingga mengambil jatah kepentingan lain seperti keluarga, lingkungan sosial, urusan kantor, atau bahkan kepentingan pribadi. Sering terjadi seorang mahasiswa S3 harus menghabiskan waktunya di laboratorium dari pagi sampai larut malam. Jika ini menjadi rutinitas, bagaimana dengan sisi-sisi kehidupannya yang lain? Bagaimana dengan keluarga? Bagaimana dengan kepentingan pribadi yang semestinya juga mendapatkan perhatian (misalnya: berolah raga, bersosialisasi, dan beristirahat). Jika tidak dikelola dengan baik, ketidakseimbangan dalam alokasi waktu, perhatian, dan pikiran bisa memunculkan efek negatif dalam kehidupan sehari-hari, yang pada akhirnya beresiko mengganggu studi S3 itu sendiri.
Mahasiswa S3 dituntut untuk bisa mengelola kehidupannya dengan baik, dalam kondisi menghadapi tekanan dan tuntutan yang tinggi. Sering kali persoalannya tidak sesederhana mengelola kehidupan diri pribadinya, tetapi juga merembet ke lingkup yang lebih lebar, misalnya keluarga atau kantor. Sebagai contoh: banyak mahasiswa S3 di luar negeri yang mengajak keluarganya untuk ikut, dan karena ketidakmampuan keluarga beradaptasi dengan lingkungan baru, keluarga menjadi ikut tertekan, dan ini akhirnya berpengaruh pada studi mahasiswa tersebut. Studi di dalam negeripun tidak lepas dari berbagai permasalahan, meski bentuknya berbeda. Seorang dosen yang bersekolah S3 di perguruan tingginya sendiri, mau tidak mau tetap tidak bisa lepas dari penugasan-penugasan dari kampusnya.
Yang tidak kalah pentingnya adalah mengelola riset S3nya itu sendiri. Riset dapat diibaratkan proyek. Ada sasaran yang harus dicapai dengan cara-cara tertentu, dan ada kekangan-kekangan yang harus diperhitungkan (waktu, biaya, ketersediaan fasilitas riset, keinginan pembimbing, dan sebagainya). Persoalan mendasarnya adalah bagaimana proyek riset ini dapat diselesaikan dengan baik dalam berbagai kekangan yang ada. Mahasiswa S3 perlu melakukan hal-hal yang pada umumnya dijalankan dalam pelaksanaan proyek: perencanaan, eksekusi, pemantauan, persiapan terhadap resiko, dan penjaminan kualitas hasil. Semua ini dijalankan secara terpadu dan menyatu dengan kegiatan riset.
Syarat lain yang tidak kalah pentingnya adalah kekuatan mental. Riset adalah kegiatan yang mengandung ketidakpastian tinggi. Ketidakpastian dalam riset bisa muncul dalam berbagai manifestasi, dari mulai hasil riset yang “aneh” sampai ketidakjelasan keinginan dan sikap pembimbing. Sayangnya manusia adalah mahluk yang rentan terhadap ketidakpastian, terutama secara mental dan emosional. Frekuensi munculnya ketidakpastian yang tinggi dan dalam jangka waktu lama berpotensi meruntuhkan mental dan emosi mahasiswa. Reaksi mahasiswa biasanya diawali dengan kebingungan, kekhawatiran, atau kemarahan, dan jika ini berlanjut tanpa ada penyelesaian, muncullah rasa frustrasi, putus asa, atau apatis. Kondisi ini bisa bermuara pada gejala-gejala fisik dan psikis yang lebih serius. Untuk mencegah hal itu, seorang mahasiswa S3 harus menyiapkan mentalnya dengan baik. Mental harus kuat agar bisa mewujudkan persistensi dan ketahanan dalam menghadapi ketidakpastian.
Selain itu mahasiswa perlu melatih diri dengan ketrampilan mengelola emosi dalam menghadapi problem. Ketrampilan emosional ini penting sekali, tapi sayangnya tidak banyak orang yang sadar tentang pentingnya hal ini dalam studi S3. Kesadaran dan penguasaan diri terhadap emosi sangat diperlukan agar respons terhadap kejadian-kejadian yang tidak diharapkan bisa terukur, positif, dan tidak merusak kemajuan yang telah diperoleh sebelumnya.
Riset S3 memang menuntut syarat-syarat yang cukup berat, tetapi di sisi lain ia juga menawarkan pengalaman yang mengasyikkan sekaligus bermanfaat dalam jangka panjang. Sesungguhnya inilah “mutiara” yang seharusnya dikejar oleh para mahasiswa S3.

Standar dan Ciri Riset S3

Riset S3 adalah riset yang berada di ujung kemajuan ilmu pengetahuan. Bobot state-of-the-artnya tinggi, karena tuntutannya adalah munculnya kebaruan (novelty) yang memiliki orisinalitas tinggi. Dengan tuntutan seperti ini, maka secara alamiah dapat dikatakan bahwa sang peneliti adalah orang yang paling tahu dan mengerti tentang topik yang ditelitinya. Dialah orang yang terdepan dalam arah pengembangan ilmu pengetahuan di topik spesifik tersebut. Orang lain, termasuk pembimbingnyapun tidak memiliki pemahaman dan pengetahuan sebaik dia. Matthew Might menggambarkan riset doktoral secara illustratif seperti ditunjukkan pada link ini: http://matt.might.net/articles/phd-school-in-pictures/
Banyak calon mahasiswa merasa bingung dengan ciri kebaruan dan orisinalitas. Pada tataran apakah kebaruan itu harus dimunculkan? Seberapa tinggi tingkat orisinalitas yang diharapkan? Di satu sisi, sering terjadi kebaruan dan orisinalitas diterjemahkan sebagai “belum pernah dipikirkan oleh orang lain”. Calon mahasiswa berpikir keras mencari ide atau konsep yang sama sekali di luar pakem, lepas dari konteks ilmiah akademis yang ada. Target yang ambisius seperti ini biasanya tidak akan tercapai, apalagi jika tidak didukung oleh kemampuan dan sumberdaya yang memadai.
Yang banyak terjadi justru di ekstrim lainnya, kebaruan diterjemahkan secara superfisial saja, tidak menyentuh ke esensi fundamental dari permasalahan yang dihadapi. Hal ini sering muncul karena calon mahasiswa mencoba mengekstrapolasikan pengalaman belajar mereka semasa menempuh S2 secara linear. Dalam kasus ini, kebaruan dicoba direalisasikan dengan cara memperluas cakupan riset S2 mereka. Karena belum memahami tuntutan riset S3, kebanyakan proposal ekspansi ini bersifat horizontal (meluas) saja, kurang menyentuh aspek-aspek yang lebih fundamental.
Di luar negeri, salah satu sebutan gelar doktor adalah doctor of philosophy (Ph.D). Sebutan ini menyiratkan tuntutan pencarian (quest) sampai pada tataran filsafat. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, gelar PhD tidak hanya terbatas untuk bidang filsafat saja, tapi juga digunakan pada bidang-bidang ilmu lainnya. Meskipun demikian, esensi maknanya tetap sama. Eksplorasi dan penggalian tetaplah dituntut untuk sampai menggali aspek-aspek fundamental dalam lingkup bidang ilmu tersebut. Keluaran riset S3 adalah pemahaman-pemahaman baru yang dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan di bidang itu. Yang diperkaya adalah khasanah ilmu pengetahuan, bukan pengalaman pemanfaatan (aplikasi) ilmu tersebut. Artinya, riset S3 tidak cukup sampai tataran aplikasi saja, meskipun di lingkup itupun muncul hal-hal baru yang juga menarik dan bermanfaat.
Sebagai contoh ilustrasi, di bidang keilmuan saya misalnya, riset tentang pengembangan aplikasi berbasis lokasi (location-based) untuk dipakai di kampus belumlah cukup untuk diangkat sebagai riset S3. Topik ini memang sarat dengan teknologi-teknologi kontemporer, misalnya algoritma penentuan lokasi berbasis koneksi ke wireless LAN, AJAX, atau bahkan augmented reality untuk visualisasi. Meskipun demikian, riset ini tetaplah bermain di permukaan saja (penggunaan teknologi baru untuk menjawab requirements tertentu). Lain halnya jika risetnya adalah tentang pengembangan ekosistem yang sadar terhadap konteks (context-aware) untuk mendukung proses pembelajaran. Selain penggunaan teknologi baru, ada persoalan-persoalan lain yang lebih fundamental, misalnya bagaimana merepresentasikan sebuah entitas di dunia maya, bagaimana melekatkan fitur kesadaran konteks (context-awareness) ke sebuah entitas, atau bagaimana proses pembelajaran bisa menarik manfaat dari kesadaran konteks. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut diperlukan eksplorasi yang lebih dari sekedar membuat program aplikasi. Jawaban yang muncul dari proses riset, apapun hasilnya, adalah kontribusi yang signifikan terhadap pengetahuan tentang context-awareness. Pengetahuan ini kemudian dapat dikembangkan lebih jauh untuk membangun konstruksi pengetahuan baru, atau menjadi dasar bagi pengembangan solusi-solusi praktis yang bermanfaat langsung bagi pemakainya.
Secara singkat, yang membedakan riset S3 dengan riset S2 atau S1 adalah tingkat signifikansi kontribusinya terhadap pengembangan ilmu pengetahuan di sebuah bidang. Karya Claude Shannon tentang bagaimana rangkaian relay elektris dapat digunakan untuk mengimplementasikan konstruksi logika Boolean adalah contoh karya yang berbobot S3 (meskipun Shannon mengerjakannya untuk tesis masternya!). Semua perangkat digital saat ini dikembangkan dari temuan riset ini. Sebaliknya, pembuatan aplikasi pengolah kata (word processor) selengkap apapun fiturnya, kecil kemungkinannya bisa diangkat sebagai topik riset S3 karena tidak ada kebaruan secara fundamental yang dapat digali dari sana.
Persyaratan yang berat dan bersifat fundamental terhadap riset S3 memang tidak mudah dimengerti, apalagi oleh calon mahasiswa. Inilah sebabnya mengapa calon mahasiswa perlu didampingi oleh pembimbing (promotor/supervisor). Pembimbing inilah yang dapat menentukan seberapa jauh/dalam riset yang dilakukan, untuk itu komunikasi dengan pembimbing adalah sesuatu yang sangat penting dalam studi S3.
Tuntutan yang sangat tinggi juga memerlukan kemandirian yang tinggi dari mahasiswa. Memang ada promotor atau supervisor, tetapi perannya lebih pada mengarahkan, bukan menuntun. Mahasiswa S3 harus mampu berjalan sendiri.
Kemandirian dalam riset dimulai dari persiapan melamar, sampai dinyatakan lulus dalam mempertahankan hasil risetnya. Kemandirian riset berarti mahasiswa yang memegang inisiatif dan kendali dalam mempersiapkan, menjalankan, dan menyelesaikan risetnya. Ibaratnya melakukan perjalanan menerabas hutan lebat yang tidak dikenal, mahasiswa harus menjalaninya sendirian, dari menentukan tujuan perjalanan, memilih rute, memilih alat transportasi, sampai dengan menghadapi rintangan, halangan, dan berbagai kesulitan yang ditemui selama menempuh perjalanan. Bimbingan dari promotor biasanya hanya berupa arahan dan petunjuk yang bersifat umum. Mahasiswa harus menerjemahkannya ke dalam bentuk aksi-aksi nyata yang hanya dimengerti oleh dirinya sendiri.
Riset S3 adalah sebuah perjalanan hidup yang arah dan caranya ditentukan oleh mahasiswa sendiri. Di balik tantangan yang begitu besar, tersembunyi reward yang besar pula bila dapat menjalaninya dengan baik. Dalam setiap riset S3 selalu ada persoalan yang ingin diselesaikan atau pertanyaan yang ingin dijawab. Pada umumnya persoalan/pertanyaan ini diurai menjadi persoalan-persoalan yang lebih sempit dan spesifik, sehingga lebih mudah untuk memecahkannya. Riset adalah usaha untuk menjawab persoalan-persoalan ini, dan menyusun jawaban-jawaban yang diperoleh ke dalam sebuah konstruksi yang utuh sebagai jawaban atas pertanyaan utamanya.
Proses menemukan jawaban atas persoalan-persoalan atau pertanyaan-pertanyaan itulah yang pada akhirnya membawa pemahaman-pemahaman baru kepada mahasiswa. Proses ini akan merangkai pengetahuan-pengetahuan yang telah dimiliki (prior knowledge) dengan metode-metode ilmiah untuk membentuk pengetahuan-pengetahuan baru (acquired knowledge).
Persoalan atau pertanyaan riset selalu bersifat terbuka, artinya tidak ada satu jawaban eksak, dan saat ia diajukan, tidak ada yang tahu seperti apa jawabnya. Seberapa jauh persoalan riset akan dijawab, dan seberapa jauh pengetahuan baru dapat digali dan dikonstruksi sangat tergantung pada mahasiswa. Riset yang baik adalah riset yang dapat menghasilkan jawaban yang jelas dan runtut, serta menggali banyak pengetahuan baru yang menambah khasanah pengetahuan yang sudah ada. Faktor inilah yang menentukan tingkat kualitas riset S3.
Di mana letak reward riset S3? Menurut pengalaman orang-orang yang pernah menjalani studi S3, baik proses riset maupun hasilnya dapat memberikan reward yang setimpal dengan usaha yang dikeluarkan. Menjalankan riset berarti melatih intelektualitas dalam mencari jawaban dengan menggunakan metode yang obyektif, runtut, dan sistematis. Di dalamnya ada proses penalaran, menguji hipotesis, mencari data pendukung yang valid dan menerapkannya, menganalisis fenomena, sampai ke menarik kesimpulan. Aktivitas riset sebenarnya melatih cara berpikir kita. Jika terlatih berpikir secara runtut dan sistematis, maka kita akan nyaman untuk menghadapi berbagai persoalan yang menuntut solusi yang tepat. Kemampuan inilah yang sebenarnya sangat berharga bagi seorang mahasiswa S3. Setelah lulus, ia akan dilengkapi dengan pisau intelektual yang tinggi yang bisa digunakan dalam bidang apapun juga, bahkan dalam situasi-situasi non-ilmiah.
Mendapatkan hasil atau temuan dalam tiap tahapan riset juga membawa kepuasan tersendiri. Gambaran situasinya seperti saat Archimedes berseru “Eureka!”. Hasil dan temuan riset adalah hal-hal baru yang membawa mahasiswa ke “ujung ilmu pengetahuan”. Saat itu, ia adalah orang yang paling paham tentang topik penelitiannya. Bagi yang pernah mengalami, perasaan itu tidak tergantikan oleh apapun.
Selain itu, konstruksi pengetahuan yang terbentuk juga menjadi aset intelektual yang sangat berharga bagi mahasiswa. Dengan pengetahuan ini, ia menjadi ahli di bidangnya dan dapat menggunakan ilmunya untuk berkarya setelah lulus. Ia dapat melanjutkan penelitiannya, menerapkannya dalam konteks dan lingkungan nyata, atau mengajarkannya kepada mahasiswa lain.
Posted by lukito

PENYEBAB SKRIPSI MACET.

4 Makhluk Penyebab Skripsi Macet

Sebenernya ada jutaan hal yang bisa bikin skripsi macet. Gue nggak mungkin nyebutin semuanya. Selain karena gue belum mengasuransikan jari tangan gue yang berpotensi putus tanpa gue sadarin waktu ngetik, penyebab macetnya skripsipun sebenernya kita sendiri yang membuatnya. 
Ketika hal yang nggak penting menjadi penting. Fenomena Skripsi.

Berikut 4 Makhluk Penyebab Skripsi Macet
1. Temen



Mau temen baik, temen sejurusan, temen tapi mesra, temenin aku dong, dan lain-lain. Hal yang selalu bikin kita lemah apalagi kalau bukan ajakan yang universal dan bisa dimengerti setiap suku di Indonesia ini yaitu "Main yuk". Mungkin kalau diibaratkan pas lo ngerjain skripsi ini kayak ketika lo sedang disuruh nyebrang jurang meniti tali setipis tali beha, lalu tiba-tiba seorang temen menawarkan sebuah pilihan "Mau numpang helikopter gue?" . Yak, pilihan yang sulit... TENTU AJA MUDAH BANGET BLOK. Orang habis ditabrak bis pun udah tahu bakal ambil pilihan mana dan dengan alasan yang klasik. "Duh kalau nolak dikira nggak asik nih". Oke. Fine. Skor temen lo 1 dan skor lo 0 besar yang berisi harapan skripsi lo bakal kelar sendiri habis lo pulang dari main tiada henti.
Tips: 
-Pura-pura sakit (kalau dibawa ke UGD, bilang udah enakan tapi masih ngidam steak)
-Pura-pura kere (Kalau dibayarin, ya terima aja sih)
-Pura-pura pergi ama pacar (checkin aja di path random sama lawan jenis asal yang avatarnya oke)

2. Pacar

Gue udah bersumpah dari dulu. Kalau punya pacar yang ngasih gue pertanyaan, "Kamu pilih aku apa skripsi kamu?" Gue bakalan jawab. "SAYANG , KAMU CANTIK CANTIK KOK SUKA LUPA SIH, LUPA NINGGALIN OTAK DI RUMAH" Lagian, geblek banget cemburu sama skripsi. Tapi emang bener sih, susah banget kalau pacar udah ngajakin main pas kita lagi pengen serius skripsian. Sebenernya nggak jauh beda sama temen, cuma pilihan ini lebih susah ditolak, kalau diibaratin kayak lo disuruh milih mau ditabrak pake bis atau dipeluk cewek cantik sambil naik bis. Gitu doang sih.
Tips: 
-Ngerjain skripsi di cafe sambil pegangan tangan (lah yang ngetik siapa?)
-Kasih pengertian ke pacar kamu "Sayang, kalau kamu aku nggak lulus-lulus, nanti kalau aku ketemu maba yang lebih cantik daripada kamu gimana?" dijamin pacar kamu berhenti ngajakin main sekaligus...............menampar.
3. Dosen

Gue nggak mau ngomong banyak. Ini sebenernya tergantung lo aja sih. Ada yang udah enak-enak dapet dosen asyik, tapi kepetnya malah dikasih ati minta jantung. Dosennya udah enak banget, ngerjain skripsinya kayak bekicot disuruh jalan pelan-pelan. Ada juga yang udah onfire banget, malah dapet dosen pembimbing yang disinyalir mengalami PMS 3 jam sekali. Kadang kita emang lupa bersyukur kalau hidup kita itu udah enak banget.
Tips: 
-Banyak-banyak berdoa dan membawa sesajen kepada dosen.
-Banyak-banyak main ke rumah dosen
4. Film

 
Film konon adalah olahraga yang sedang diusulkan di cabang atletik olimpiade 2016 besok. Maraton Film. Film Membuat moto hidup gue menjadi gabungan dari makna skripsian dan menonton film. "BAHAGIA DAN SUSAH ITU HARUS IMBANG : 1 JAM SKRIPSI DIBALAS 6 JAM NONTON FILM DOWNLOADAN". Mungkin kalau Mario Teguh tahu moto hidup gue kayak gitu, dia bakal dateng langsung di kamar sambil ngomong "Get a life son". Selain itu frekuensi gue ke bioskop berubah total selama skripsi dari penonton XXI jadi "Ini orang pegawai XXI apa ya kok gue lihat terus di bioskop?". Oh, kalau di akhirat nanti Tuhan nanya ke gue "Apa yang kamu perbuat semasa hidupmu?" mungkin gue nggak bakal jawab tapi bakal nanya "Warnet di surga koleksi filmnya lengkap nggak?"
Tips: 
(ON PROGRESS)
Kalau gue udah nemu solusinya gue kasih tahu. Sementara masih belum nemu.


Masih banyak lagi penyebab kemacetan skripsi yang bakalan lo temuin, masalahnya cuma bisa diselesaikan sama diri lo sendiri. 
Bisa nggak selama terjebak kemacetan tadi lo menemukan jalan alternatif yang bisa membuat lo sampai di tempat tujuan lo dengan lancar ?

Article by: Mbah Derma

Illustrated by Thoma Prayoga