Selasa, 21 April 2015

Menjadi Dosen di Indonesia

Menjadi Dosen di Indonesia

Semua profesi tentu saja memiliki kelebihan dan kekurangannya, pun menjadi dosen.
Salah satu hal baik menjadi dosen di Indonesia adalah kemudahannya menjadi dosen tetap/ tenure. Di beberapa negara lain, tak mudah menjadi dosen tetap. Kawan-kawan saya yang bergelar Doktor di Jepang atau Perancis, misalnya mesti mengikuti post-doc dulu, menerbitkan disertasi-nya menjadi buku, baru bisa melamar menjadi dosen tetap, itupun kalau ada lowongan (kabarnya semakin jarang). Kompetisi-nya juga cukup ketat karena portofolio di bidang akademik seperti publikasi ilmiah amat menentukan. Kalaupun ada kasus master menjadi dosen tetap, ini hal yang amat langka sekali, mungkin hanya untuk orang-orang cemerlang saja.
Di indonesia, syarat menjadi dosen hanya bergelar master saja. Bahkan beberapa tahun lalu, orang bergelar sarjana bisa menjadi dosen tetap. Aku-pun menjadi dosen tetap PNS ketika masih sarjana dan kemudian melanjutkan kuliah S2 dan sekarang S3 dalam status sebagai dosen tetap. Artinya titik berangkat menjadi dosen di Indonesia jauh lebih mudah daripada di negara lain yang saya ketahui.
Dalam kondisi semacam ini, tentu saja wajar jika kualitas pendidikan tinggi di Indonesia masih tertinggal dari negara-negara lain yang semua dosennya bergelar Doktor. Hal ini nampaknya disadari pemerintah dengan menggelontorkan beasiswa S2 dan S3 baik di dalam dan luar negeri. Jumlah beasiswanya amat banyak, kabarnya kuota tak pernah tercapai. Namun sayang, pengelolaan beasiswa-nya berjalan buruk, datangnya uang sering terlambat dan banyak ketidakpastian informasi. Walaupun begitu, jumlah penerima manfaat (baca: beasiswa) dari pemerintah cukup besar, sampai tahun 2012, tercatat 29.632 dosen/calon dosen sedang disekolahkan di dalam negeri dengan berbagai skema dan 3662 dosen/calon dosen juga sedang disekolahkan ke luar negeri dengan berbagai skema. (studi.dikti.go.id)
Artinya akan ada lonjakan dosen bergelar master dan doktor dalam beberapa tahun ini, sedangkan diharapkan tak ada lagi dosen bergelar sarjana. Oh ya, silahkan baca data dosen berdasarkan pendidikan disini. 
Namun Dosen di Indonesia memang menghadapi persoalan yang tak mudah untuk menghasilkan performance yang baik.
Diluar buruknya fasilitas, perpustakaan atau seringnya tak ada meja kerja bagi dosen (di beberapa banyak kampus), persoalan yang cukup sering dibahas memang soal  penghasilan. Hal ini sudah bolak-balik dibahas di berbagai forum. Terakhir seorang dosen PNS bergelar master lektor IIId diomeli dan dianggap tidak bersyukur karena mengeluhkan gaji-nya yang lebih kecil dari tukang sampah dan penjaga apartemen di perancis. Aku juga pernah menuliskan perbandingan menjadi dosen di indonesia dan malaysia di sini.
Seberapa besar/kecil-kah gaji dosen di Indonesia?
Gaji pokok seorang dosen di Indonesia sama kecilnya dengan PNS lain di Indonesia. Silahkan dilihat disini, golongan satu dan dua PNS di Indonesia lebih kecil dari UMR beberapa Provinsi di Indonesia. kalau dosen pengangkatan pertama IIIb MKG 0 tahun ya gaji pokoknya Rp. 2.278.900, beberapa puluh ribu diatas UMP Jakarta ;). Memang ada tambahan tunjangan beras/istri/anak, jumlahnya beberapa ratus ribu saja. Silahkan bandingkan dengan gaji pertama beberapa perusahaan swasta/bumn berikut disini. Oh ya, ada juga sih beberapa kampus swasta yang menggaji dosennya dengan standar perusahaan swasta yang baik, gaji pertamanya sekitar tiga atau empat kali gaji pertama dosen PNS di Indonesia.
Hmm tapi sejujurnya, dibandingkan dengan pekerjaan lain, dosen adalah pekerjaan yang menarik. Cepat atau lambatnya karir seorang dosen, lebih tergantung dari kapasitas dan produktivitasnya. Semakin produktif menghasilkan karya ilmiah, terutama di Jurnal terakreditasi dikti atau jurnal internasional, semakin cepat laju karirnya.
Seorang dosen di Indonesia memiliki empat jenjang jabatan fungsional (Jafung)/ jabatan akademik dosen.
Mari kita simulasikan bagi mereka bergelar S2 jika berkarir menjadi dosen.
Ketika melamar dan diterima statusnya Tenaga Pengajar, artinya dosen yang belum memiliki jabatan fungsional dosen.  Setelah setahun biasanya sudah boleh mengajukan jafung asisten ahli. Angka kredit asisten ahli IIIb hanya 150 yang sudah pasti bisa didapatkan dari ijazah S2, namun tentu saja mesti tetap ditambah 10 kredit dari kegiatan penelitian, pengajaran dan pengabdian, plus ditambah mesti punya publikasi minimal di jurnal nasional. Sesuai Perpres 65 tahun 2007 tunjangan fungsional jumlahnya Rp.375.000,- sedangkan lektor Rp. 700.000,-
Dua tahun kemudian bisa mengajukan kenaikan ke jabatan fungsional lektor dengan angka kredit 200-399. Artinya mesti mengumpulkan angka kredit sebanyak minimal 100 dari kegiatan tridharma: pengajaran, penelitian dan pengabdian pada masyarakat. Proses pengajuan ke lektor bisa lebih cepat jika memiliki Jurnal nasional terakreditasi dikti .atau Jurnal internasional bereputasi, bahkan bisa lompat jabatan fungsional.
Nah dua tahun kemudian bisa mengajukan kenaikan ke jabatan fungsional lektor kepala. Jumlah kredit lektor kepala adalah antara 400-849.  Berapa tunjangan lektor kepala? Rp. 900.000,-
Nah, kasta tertinggi di dunia perdosenan adalah menjadi Profesor. Dulu, menjadi profesor syaratnya memiliki angka kredit 850, bergelar doktor, minimal 3 tahun jadi lektor kepala dan punya satu tulisan di jurnal terakreditasi dikti, gampang kan?
Kini sesuai permenPAN 46 2013, syaratnya menjadi jauh lebih sulit karena selain angka kredit minimal 850 seorang LK baru bisa mengajukan menjadi Profesor setelah tiga tahun memiliki ijazah Doktor (kecuali punya tulisan di jurnal internasional berputasi setelah meraih gelar doktor), dua tahun menjadi LK dan memiliki tulisan di Jurnal Internasional bereputasi sebagai penulis pertama, dan minimal 10 tahun menjadi dosen.  Tunjangan seorang Profesor memang hanya Rp. 1.350.000,- namun bisa mendapatkan tunjangan kehormatan sebesar dua kali gaji pokok.
Oh ya, untuk anda yang cemerlang, ada kesempatan lompat dari asisten ahli ke lektor kepala dan dari lektor ke guru besar. Perhatikan tabel di bawah ini:
Screenshot 2014-08-05 12.51.28
Hmm berikut tabel tunjangan fungsional dosen menurut Perpres 65 tahun 2007 yang beberap kali saya sebutkan di atas:
Screen Shot 2013-05-18 at 6.45.16 PM
Oh ya, sumber pendapatan lain bagi dosen adalah sertifikasi dosen yang sudah berjalan beberapa tahun lalu. Jumlah tunjangan sertifikasi dosen adalah satu kali gaji pokok. Namun baru 47% dosen di Indonesia yang tersertifikasi, sisanya 57% belum bersertifikasi yang artinya juga belum mendapatkan tunjangannya.(http://www.koran-sindo.com/node/313281).  baru 39% dosen Indonesia yang sudah tersertifikasi. Sisanya, 69% belum tersertifikasi. Syarat sertifikasi juga (dibuat) semakin berbelit dan aneh sulit. Tahun ini ada syarat berkas tambahan, sertifikat TOEFL dan TPA yang entah apa hubungannya dengan sertifikasi dosen. Data tentang sertifikasi dosen bisa dibaca di sini.
Karena itulah, menjadi Profesor secepat mungkin adalah jalan terbaik dalam berkarir sebagai dosen. Dari sisi finansial, bisa mendapatkan empat kali gaji pokok, plus tunjangan fungsional guru besar. Mari kita hitung secara kasar, katakanlah seorang profesor golongan IVd dengan MKG 10 tahun dengan gaji pokok Rp. 3.412.000, maka take home pay-nya adalah (Rp. 3.412.000,-X4) + Rp. 1.350.000,-. = Rp. 14. 998.000,-.
Jumlah tersebut lebih dari dua kali lipat dari Lektor Kepala IIId MKG 10 tahun yang mendapatkan (Rp. 2. 801.000,- X 2) + Rp. 900.000,- = Rp. 6.502.000,-.
Jika punya jabatan, maka akan mendapatkan pendapatan tambahan sebagai berikut (Perpres 65 tahun 2007):
Screen Shot 2013-05-18 at 6.27.20 PM
Maka, karena besarnya jumlah pendapatan Profesor, jumlah dosen yang mengajukan diri menjadi profesor melonjak drastis. Menurut Supriadi Rustad, hanya 30% yang diterima dalam pengajuan menjadi Profesor setiap bulannya. Sisanya, 70% ditolak karena berbagai alasan antara lain: karena alasan pelanggaran etika dan profesionalisme, seperti pemalsuan dokumen karya ilmiah. Pemalsuan itu seperti mencantumkan jurnal rakitan, jurnal ”bodong”, artikel sisipan, label akreditasi palsu, nama pengarang sisipan, buku lama sampul baru, dan nama pengarang berbeda. (www.suaramerdeka.com). masih menurut Supriadi Rustad, pada tahun 2012 di Ditjen Dikti dari pengajuan Profesor  sebanyak 115 orang, hanya 77 orang yang layak menjadi Profesor. (http://www.jpnn.com/read/2013/02/09/157651/Gelar-Guru-Besar-tak-Sembarangan-)
Namun tentu saja tak bisa kita menggeneralisir bahwa semua orang yang mengajukan jabatan fungsional adalah mereka yang menghalalkan segala cara. Entah kenapa, ada saja orang-orang yang membuat opini negatif tentang orang-orang yang mengajukan diri menjadi Profesor. Coba saja baca tulisan ini http://edukasi.kompasiana.com/2013/04/28/akal-akalan-dosen-busuk-untuk-menjadi-profesor-550981.html. Sayangnya tulisan tak berimbang semacam ini tersebar luas dan kemudian membuat opini kuat bahwa mereka yang mengajukan jabatan fungsional Profesor adalah dosen mata duitan dan menghalalkan segala cara.
Apakah semua begitu?
Padahal  kalau mau berpikir lebih seimbang — tanpa memungkiri banyak yang curang juga — ada juga dosen yang menjadi Profesor karena bekerja keras dan jujur, bahkan mendapatkannya di usia muda. Contoh cukup baik misalnya Agung Eko Nugroho di UGM atau Eko Prasojo dan Ibnu Hamad di UI. silahkan baca tulisan tentang menjadi Profesor (Guru Besar) disini. Kemudian menurut peraturan terbaru, profesor juga memiliki kewajiban khusus berupa menulis di jurnal internasional, menyebarluaskan ilmu (presentasi di seminar) dan menulis buku, yang dievaluasi setiap lima tahun.
Jadi seperti ide awal di tulisan ini, karir dosen memang tergantung dari seberapa kompetensi dan produktivitas seorang dosen. Jika Ia produktif dan bersekolah dengan semangat sampai S3, maka laju karirnya juga bisa cepat. Namun jika malas sekolah dan juga tidak produktif meneliti dan publikasi, tentu saja akan terlindas zaman.
Berbagai perubahan ini menimbulkan dampak serius. Ada (sebagian) dosen yang telanjur berumur dan belum sekolah Doktor yang karirnya terancam  mengalami stagnasi.  Sebaliknya ada juga (sebagian) dosen  yang sudah/ sedang bersekolah Doktor baik di dalam dan luar negeri yang bisa melaju karirnya. Namun juga tidak mudah karena harus terus berproduksi (baca: meneliti dan publikasi). Jika malas, juga sulit untuk mencapai karir tertinggi menjadi Profesor. Bahkan Lektor Kepala yang sudah berijazah doktor-pun sekarang tidak mudah menjadi Guru Besar karena harus memiliki publikasi di Jurnal internasional bereputasi. Bahkan bagi yang telanjur jadi profesor-pun sekarang muncul aturan pencabutan tunjangan jika tak mampu menghasilkan publikasi di jurnal internasional,
Oh ya, satu lagi. bagaimana nasib dosen yang masih S1 ya?, secara misalnya peraturan-peraturan baru sudah tidak mencantumkan dosen S1 di dalamnya. Pendidikan minimal dosen sesuai UU Guru dan Dosen No. 14 2005 adalah magister untuk mengajar jenjang Diploma dan Sarjana. Nah dosen berpendidikan S1 memiliki waktu sampai 30 Desember 2015, persis sepuluh tahun setelah UU Guru dan Dosen diundangkan. Penjelasan super-komplit dari Bunda Fitri bisa dibaca di sini.
Hmmm… inilah dunia dosen, bagaimana menurut anda?
disclaimer: Oh ya, tulisan ini lebih banyak soal dosen PNS, maklum tak tahu banyak dunia dosen swasta, mungkin baik juga jika ada yang mau menuliskannya :)
update:
Penting ! Artikel terkait dan Panduan Komplit dengan regulasi terbaru:
1. Panduan Memulai Berkarir Sebagai Dosen di Indonesia Jika Anda Bergelar Doktor
2. Panduan Memulai Berkarir Sebagai Dosen di Indonesia Jika Anda Bergelar Master
3. Mari Menjadi Guru Besar
Dengan banyaknya perkembangan dunia perdosenan dan pendidikan tinggi, maka saya membuat website khusus sebagai rumah dosen di  di www.dosenindonesia.net. Semoga bermanfaat dan barokah ya.
~@ abdul hamid Fisip Untirta